Wednesday, February 8, 2012

Review Novel: Antologi Rasa


Novel Antologi Rasa dari Ika Natassa adalah novel Indonesia pertama yang saya beli lagi sekembalinya pulang dari Sydney. Which also means, that this is my first Indonesian novel that I read after, um I don't know, two years? Yeah, I know. I've missed all the fun. Promise you, I will catch up one book at a time. Anyway, entah kenapa begitu melihat novel ini terpampang di display Gramedia dekat rumah, saya langsung merasa tertarik untuk membeli. The simple heart illustration at the cover, complete with all the scribbles naming human emotions drew me in. So I bought it and brought it home to be read.




Tema yang diangkat novel ini sendiri sebenarnya sederhana: cinta bertepuk sebelah tangan. Antologi Rasa bercerita tentang kehidupan asmara tiga karakter utama yang bersahabat satu sama lain: Keara, Harris dan Rully. Keara adalah tipikal perempuan Jakarta yang tahu benar bagaimana cara menikmati hidup dan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, termasuk dengan banyak pria. Sikap Keara berubah ketika akhirnya ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, Rully, yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Rully, yang seorang pemuda alim nan rajin ibadah, gemar mendengarkan lagu-lagu band Melayu dan makan di pinggir jalan. Rully, yang ternyata mencintai sahabat mereka yang lain, Denise. Feel confused yet? Oh jangan takut jangan khawatir. Karena ternyata this tangled web of love masih ditambah rumit dengan dilemma Harris, sahabat Keara dan Rully yang notoriusly famous sebagai PK alias Penjahat Kelamin (Think Barney of How I Met Your Mother), yang diam-diam ternyata memiliki kemampuan untuk mencintai perempuan (lebih tepatnya Keara) dengan cara monogami.

Overall this novel is a perfect example of chick-lit (CMIIW, I'm not completely sure how to call this kind of genre). Ika sepertinya sudah tahu persis bagaimana cara menggarap novel ini sedemikian rupa (buku ketiganya kalau tidak salah) sehingga dapat menarik perhatian target utama novelnya: siapa lagi kalau bukan, wanita-wanita lajang muda dan berprestasi (Pfft. Oh, my pathetic word choice). Dialog masing-masing karakter mengalir lancar dan menarik, witty though I don't find it exceptionally insightful. Salah satu hal yang buat saya patut diacungi jempol adalah cara Ika mengolah kata sehingga pembaca bisa merasakan emosi masing-masing karakter yang naik turun tanpa terkesan melodramatis. Ika lebih memilih humor dan sarkasme untuk membeberkan cara pandang masing-masing tokoh tentang sebuah peristiwa, sehingga alur pun terasa ringan walaupun esensi yang ingin diangkat sebenarnya bisa membuat siapa pun yang merasakannya sakit kepala. Tambahan lagi Ika pintar membuat karakter menjadi lebih nyata dengan referensi tempat dan benda yang memang ada di dunia. This book did help me to make a list of what to do and where to go if I ever have that much money at my disposal.

Tapi entah mengapa saya merasa, for the lack of better words, terganggu dengan penggambaran seluruh karakter (khususnya Keara) serta deretan merek-merek mahal atau tempat-tempat elite yang disebut tanpa henti di dalam novel ini. I know it's completely legit and normal for a writer to do such a thing; hanya saja semua hal yang saya sebut di atas membuat saya tidak bisa menaruh simpati lebih lanjut pada perkembangan masing-masing karakter. Hubungan emosional saya dengan buku ini terputus; kenikmatan saya untuk menikmati cerita pun menguap hilang entah kemana because everybody in this book and their lifestyle hurts my pride. And my ego, if I may add.

Loh kenapa?

Karena semua karakter dan gaya hidup yang ada di dalam buku ini adalah pengammbaran tentang people that I used to scoff at, people that I looked down upon. Orang-orang yang mengukur status dalam hidup dengan merek. Yeah I know. You don't have to try psychoanalyze me. I know that this is me, feeling bitter towards those stuck-up rich people since I can't actually have the ability (wait should I say, money?) to blend in. Dan buku ini adalah the perfect reminder of those people. Dari mulai pernyataan CFA (Cheap Food Allergy), rakyat jelata, steak seharga setengah juta sampai Bakmi GM yang di buku ini juga disebut murah (which is ironic because I personally think Bakmi GM is overpriced karena toh saya biasa beli bakmi 12 ribu di belakang kantor). All of these lines somehow stung me really hard. Dan buku ini pun berubah di mata saya - dari bacaan yang menarik hati menjadi bacaan yang tak punya hati (Aduh, jadi nggak enak hati sendiri nulisnya)

So yeah, my verdict for this book is split into two. Objectively, it's a good read. You will be able to enjoy it if you like the Sex-and-The-City-esque style of story telling. But personally, I don't think I would ever read this novel ever again. Mungkin apa yang saya rasakan ini berasal dari sebuah kenyataan sederhana: karena saya ini masih orang kampung yang barangkali tidak cocok untuk membaca novel yang konon katanya adalah sebuah novel tentang manusia urban. (Sedikit) membuat sakit hati :)

Selesai!

*ngunyah batagor enam ribuan yang dibeli di bawah jembatan busway Cempaka Mas. My wallet has a disease called OOFA - Overpriced and Overrated Food Allergy*

0 comments:

Post a Comment