Monday, May 14, 2012

Work-Life Balance di Belanda: Lessons To Be Learned


Pernah melihat seseorang mengerjakan pekerjaan kantor di tengah-tengah keasyikannya menonton festival musik?

Salah seorang teman dekat saya pernah melakukan ini. Berbekal laptop yang sengaja ia bawa dari rumah sejak atasannya tiba-tiba menelepon di hari Sabtu sore, teman ini saya pun sibuk berkutat di bagian belakang venue untuk menyelesaikan laporan yang katanya harus dikirimkan kepada sang atasan via email, paling lambat besok atau minggu pagi. Tentu saja teman saya ini tidak bisa berhenti menggerutu karena waktu liburnya – yang memang sudah sengaja disisihkan untuk menonton festival musik dari jauh-jauh hari – menjadi terganggu karena pekerjaan yang datang tiba-tiba. Saya pun ikut merasa kesal karena, mana enak menyanyi sendiri sementara teman malah asyik menghadap laptop di sebelah?

Cerita teman saya di atas merupakan gambaran sederhana betapa pegawai di Indonesia rata-rata memiliki pola pekerjaan yang tidak mengenal waktu, sehingga mereka kesulitan untuk mencari keseimbangan antara pekerjaan kantor dengan kehidupan pribadi (Work-Life Balance). Tidak heran kalau kemudian salah sebuah studi menyebut bahwa pegawai di Indonesia adalah pekerja pekerja dengan tingkat kepuasan kerja terendah di dunia [1]. Hanya 18 persen responden Indonesia yang mengaku puas dengan kondisi pekerjaan mereka sekarang. Lebih lanjut, hampir setengah dari responden mengaku bahwa pekerjaan mereka telah menyita waktu berharga yang seharusnya mereka habiskan bersama-sama dengan keluarga.

Selain hilangnya waktu pribadi dan keluarga, pola pekerjaan yang tidak mengenal waktu seperti ini bisa berakibat buruk pada kesehatan fisik dan mental para pegawai dan berpengaruh negatif pada tingkat kreativitas dan inovasi pegawai di kantor. Sebaliknya, menurut sebuah studi di tahun 2010 [2], pegawai yang bekerja di perusahaan yang memperhatikan keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi pegawainya cenderung lebih kreatif dan inovatif dibandingkan pegawai yang bekerja di perusahaan biasa.   

Bagaimana dengan Belanda?

Berbeda dengan Indonesia, Belanda tergolong lebih maju dalam urusan peningkatan kualitas Work-Life Balance.  Belanda adalah negara kedua terbaik dalam hal Work-Life Balance, dengan rata-rata warga Belanda menghabiskan 70% waktu mereka dalam sehari (atau 16.1 jam) untuk melakukan berbagai kegiatan relaksasi, seperti menonton film atau berjalan-jalan bersama teman [3]. Salah satu program Work-Life Balance yang sering ditawarkan oleh perusahaan di negara kincir angin ini adalah flexible work hour atau jam kerja yang fleksibel dan tidak mengikat [4]. Dengan kata lain, pegawai di Belanda diberi kebebasan untuk mengatur waktu jam kerja, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pribadi masing-masing; kebebasan yang ditetapkan secara formal legal oleh Pemerintah Belanda di tahun 2000 [4]. Hal ini berdampak besar pada budaya kerja di negara Belanda, dimana angkatan kerja lebih memilih pergi ke perusahaan yang bisa menawarkan jam kerja pendek (sekitar empat hari kerja dalam seminggu). Pekerjaan paruh waktu pun menjadi pilihan utama baik untuk wanita dan pria Belanda, agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan keluarga. Tentu saja fenomena jam waktu yang fleksibel ini tidak hanya memiliki dampak positif, namun juga mulai menunjukkan sisi negatif. Isu-isu seperti kompetensi sumber daya manusia yang menjadi lebih rendah karena pekerjaan paruh waktu [4] atau marginalisasi peran wanita dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan [5].  Tentu saja, program flexible work hours semacam ini hanya bisa diterapkan secara efektif apabila negara memiliki kebijakan publik yang mendukung, seperti jaminan sosial (safety net) yang memadai sehingga masyarakat merasa leluasa dalam menentukan jam kerja tanpa merasa dikejar-kejar oleh kebutuhan untuk bekerja tanpa mengenal waktu untuk mendapatkan penghasilan. Dan Belanda, sebagai sebuah negara, sudah berhasil memenuhi hak warga negara yang satu ini. Maka tidak heran kalau kemudian Belanda pun menjadi negara paling bahagia ke-4 di dunia [6].

Pertanyaannya kemudian adalah: kapan Indonesia juga menjadi negara yang bahagia?  



   
Sumber:
 


 
http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2011/01/02/2003492448




Mengenal Harry Mulisch


 Harry Mulisch
 (Picture taken from here)

Sebagai seorang pencinta buku, saya selalu menghubungkan kata kreativitas dengan pengarang novel dan karya-karya mereka. Dan di Belanda, salah satu nama yang langsung mencuat ke permukaan ketika berbicara tentang novel adalah Harry Mulisch, penulis kenamaan dengan kepribadian kontroversial yang baru saja menutup usia pada bulan Oktober 2010 lalu di usia yang ke-83. Tema utama yang sering diangkat Mulisch adalah konflik moral dan dilemma yang dihadapi pada masa perang melawan kependudukan Nazi di Belanda. Ketertarikan Mulisch terhadap isu konflik moral ini berakar pada pengalaman pribadinya semasa muda dengan Ibu Yahudi yang berjuang untuk tidak dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi dan ayah Jerman yang berusaha menyambung hidup keluarga dengan bekerja di sebuah bank yang menampung hasil rampasan perang dari orang-orang Yahudi [1].

Salah satu novel pertama yang melambungkan nama Mulisch di dunia literatur internasional adalah novel yang berjudul The Assault (diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul asli De Aanslag), yang bercerita tentang kehidupan Anton Steenwijk setelah keluarganya yang tidak bersalah dihabisi oleh pasukan Nazi setelah mayat seorang kepala polisi bernama Fake Ploeg ditemukan di depan pintu mereka. Dihantui oleh kenangan masa kecil yang kelam, novel ini kemudian menggali lebih dalam usaha Steenwijk dalam menemukan jawaban tentang misteri di balik tragedi pembunuhan keluarganya dan perjuangan batinnya sendiri ketika menghadapi korban perang yang masih selamat dan bertahan hidup dengan membantu Nazi [2]. Novel ini diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Belanda bernama Fons Rademakers dan berhasil memenangkan Golden Globe dan Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 1986 [3].

Mulisch juga menulis novel berjudul The Discovery of Heaven (diterbitkan pada tahun 1992 dengan judul asli De Ontdekking van de Hemel). Buku yang dibagi ke dalam empat bagian ini bercerita tentang seorang malaikat yang diberi tugas untuk mengembalikan prasasti yang bertuliskan tentang Sepuluh Perintah Tuhan (Ten Commandments) dan dalam menjalankan tugasnya untuk memenuhi prasasti ini ke surga, sang malaikat pun mengatur takdir dan jalan hidup tiga orang manusia yang ada di muka bumi. Ketiga manusia ini kemudian harus menghadapi serentetan peristiwa sebagai konsekuensi dari hubungan sebab-akibat yang terjadi akibat campur tangan surga [4]. Buku ini menjadi buku Mulisch yang paling terkenal dan menjadi best-seller serta disebut-sebut sebagai novel terbaik yang pernah ditulis oleh penulis Belanda [1].    

Novelnya yang terakhir, Siegfried (diterbitkan pada tahun 2001, dengan judul asli De Bezige Bij) masih mengangkat tema yang sama. Menggunakan kacamata seorang penulis fiksional Belanda bernama Rudolf Hecter, Mulisch berusaha menyajikan sisi lain dari penjahat perang nomor satu, Adolf Hitler, melalui kisah satu pasangan Austria yang mengaku membesarkan anak Hitler dan Eva Braun yang selama ini disembunyikan keberadaanya.  Melalui cerita ini, Mulisch mengulik lebih rinci pertanyaan substansial mengenai justifikasi kejahatan dan hubungannya dengan karakter dasar manusia [5].  


Sumber:
1 http://www.telegraph.co.uk/news/obituaries/culture-obituaries/books-obituaries/8105824/Harry-Mulisch.html

Going Dutch dan Emansipasi Wanita


Ketika sedang menempuh persiapan untuk sekolah ke Australia setahun yang lalu, salah seorang tutor saya memperkenalkan saya dengan sebuah istilah baru yang belum pernah saya dengar sebelumnya: “Going Dutch”. Tutor saya pun kemudian menjelaskan dengan panjang lebar bahwa istilan ini biasanya digunakan ketika kita sedang keluar makan bersama-sama dengan teman (atau pasangan kencan) dan ingin membayar pengeluaran yang sudah kita habiskan secara terpisah. Saya ingat saya tertawa geli sendiri: “Oh maksudnya going dutch itu yarwe-yarwe tho? (bayar sendiri-sendiri atau bayar dhewe-dhewe dalam bahasa Jawa)”

Apakah ini berarti orang Belanda pelit-pelit?

Jawabannya tidak. Tutor saya melanjutkan penjelasannya dengan gamblang dan bercerita bahwa kebiasaan membayar sendiri pengeluaran yang sudah dikeluarkan setelah makan bersama atau melakukan aktivitas sosial lainnya secara bersama-sama berasal dari tingginya tingkat emansipasi wanita di negeri kincir angin ini. Di Belanda, wanita sudah mendapatkan kebebasan untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup termasuk di antaranya keputusan untuk bekerja (atau tidak), keputusan untuk memilih pasangan hidup sampai keputusan soal orientasi seksual. Kebebasan ini benar-benar menempatkan kaum wanita di Belanda di posisi yang sama dengan para prianya (bukan lagi sekedar jargon), termasuk dalam hal kemampuan dan keberanian untuk mengambil tanggung jawab dalam kehidupan. Inilah sebabnya mengapa, menurut Ellen de Bruin, seorang psikolog dan jurnalis terkenal dari Belanda, kebanyakan wanita Belanda memiliki kepribadian yang tegas [1]. Lebih lanjut, De Bruin juga menggambarkan betapa perempuan Belanda adalah tipe perempuan mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, sehingga ketika berpakaian pun perempuan Belanda lebih memilih pakaian yang memudahkan mereka untuk bergerak ketimbang pakaian cantik untuk menarik perhatian lawan jenis. Masih menurut De Bruin, keberadaan jaringan sosial yang memadai oleh Pemerintah Belanda turut mendukung perempuan untuk memiliki kebebasan dalam berpikir dan pada gilirannya, mendorong tingginya tingkat emansipasi wanita dalam masyarakat Belanda.          

Kalau hendak dirunut, tradisi kebebasan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat Belanda bukanlah hal yang baru. Bahkan, perempuan Belanda lah yang memperkenalkan ide emansipasi wanita kepada Raden Ajeng Kartini dan melalui korespondesinya dengan seorang Estella Zeehandeelar, pemikiran-pemikiran kritis RA Kartini untuk kemajuan kaum perempuan mulai bermunculan, khususnya tentang pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan Indonesia [2]. Sayangnya, meski posisi perempuan Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan posisi perempuan Indonesia di zaman RA Kartini, emansipasi dan kebebasan bukanlah sesuatu yang benar-benar dirasakan perempuan di sini. Karena toh, berpakaian pun kita masih diatur-atur.

 Yang menarik, sejajarnya posisi wanita dan pria dalam pola kehidupan bermasyarakat di Belanda ini kemudian membuat perempuan-perempuan Belanda menjadi salah satu perempuan paling bahagia di dunia. Mengutip pernyataan de Bruin [3], kalau perempuan di Perancis tidak mudah gendut, perempuan di Belanda tidak mudah depresi (“French women don’t get fat, Dutch women don’t get depressed”). Dan rasanya tidak berlebihan untuk kemudian mengambil asumsi bahwa ketika perempuan berbahagia, maka seluruh bangsa pun ikut berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari hasil World Happines Report pertama yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana Belanda menempati peringkat keempat negara paling bahagia di dunia [4]. Sounds great, doesn’t it?

Jadi perempuan Indonesia, sudah siap untuk going dutch?    


Sumber