Sunday, December 10, 2017

Pelakor, Asosiasi Emosional dan Narasi Yang Salah.


Hiya, abandoned blog. I'm back.

I'm back sooner than I thought, people (source : here)

Kali ini saya akan mencoba menulis postingan dalam Bahasa Indonesia dengan beberapa alasan. Pertama karena memang sepertinya sudah lama saya tidak menulis apa pun dalam bahasa Indonesia dan yang kedua, well, sepertinya untuk topik yang kali ini jauh lebih menarik untuk dituliskan dalam bahasa Indonesia.

Kalau ada satu kata yang belakangan ini sering digunakan oleh banyak orang di Indonesia, khususnya perempuan, kata tersebut barangkali adalah Pelakor (kalau tidak salah sih singkatan dari Perebut Laki Orang. Am I right?). Dari kepanjangannya sudah cukup jelas bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan sosok perempuan yang menjadi orang ketiga dalam hubungan atau rumah tangga orang lain. Tentu saja, istilah pelakor mengandung konotasi negatif sebagai perusak rumah tangga dan by association, pelakor banyak dihujat, dihindari bahkan diwaspadai.

Tapi jujur, penggunaan istilah pelakor membuat saya terusik dan tidak nyaman. Bukan, bukan karena saya adalah salah satu pelakor yang harus dihujat dan diwaspadai (News flash : saya tidak punya hubungan romantis dengan siapa pun saat ini. So I'm not being defensive here), tapi lebih karena asosiasi emosional dan narasi yang muncul ketika istilah pelakor ini digunakan. Nah, asosiasi dan narasi inilah yang membuat saya merasa amat sangat tidak nyaman. 

Maksudnya bagaimana?

(source : here)

Jadi begini. Ada banyak sekali teori dalam dunia psikologi yang bisa digunakan untuk menjelaskan psycholinguistic dan word association atau asosiasi kata. Tapi untuk membuat hidup saya dan siapa pun yang membaca tulisan ini (which probably none) menjadi lebih mudah, mari menerima pemahaman yang sederhana bahwa kata apa pun yang digunakan di dunia ini memiliki asosiasi tertentu dalam pikiran seseorang yang memahami kata tersebut. Contoh ketika seseorang menyebutkan kata Rinso, maka asosiasi pertama yang umumnya akan muncul dalam pikiran kita adalah deterjen. Atau ketika seseorang menyebutkan kata Honda, maka asosiasi pertama yang muncul dalam pikiran kita adalah sepeda motor. Dan begitu seterusnya.

Sama halnya dengan Istilah pelakor yang kini ramai digunakan. Ketika kita menyebutkan kata ini, asosiasi pertama yang barangkali muncul di kepala adalah perempuan, diikuti barangkali dengan kata jahat atau tidak bisa diampuni - asosiasi yang barangkali memang benar adanya. Tapi justru inilah yang membuat saya tidak nyaman. Kenapa? Karena, kalau mau jujur, kejahatan yang dilakukan oleh seorang "pelakor" bukanlah kesalahan yang hanya jatuh di pundak si pelaku perempuan. Kesalahan yang sama juga jatuh di pundak pelaku laki-laki. 

Tapi kenapa, KENAPA ASOSIASI NEGATIF YANG SAMA TIDAK DITEMPELKAN PADA LAKI-LAKI? Penggunaan istilah pelakor seolah-olah menempatkan sebagian besar kesalahan di pundak pelaku perempuan dan mengecilkan kontribusi pelaku laki-laki dalam kejahatan yang sama. 

Which, for me, is WEIRD AS FUCK

What the fuck is this sorcery? (source : here)

Salah seorang teman saya kemudian berkata: "Menurut gue sih Dith, kenapa perempuan banyak menyalahkan perempuan lain dalam hal ini adalah karena sebagai perempuan, mereka seharusnya lebih memiliki empati terhadap sesama perempuan. Sama kayak kenapa PNS lebih banyak disalahkan kalau nilep uang atau kenapa kalau aparat berantem sama orang sipil, pasti aparat yang lebih banyak dihujat"

Hm. Masuk akal.

But, here's what I think : Ketika PNS atau aparat melakukan kesalahan dan menerima hujatan atau serangan dari masyarakat umum, hal tersebut sebagian besar terjadi karena pegawai atau aparat negara memiliki kewajiban secara LEGAL (dan tersumpah di hadapan Tuhan) untuk menunaikan tanggung jawab tertentu yang LEBIH dari masyarakat sipil, termasuk di antaranya menjaga ketertiban umum dan menjaga integrasi institusi, bangsa dan negara (I know this for sure because I'm a civil servant and they made me swear for it). Tapi apakah logika yang sama bisa diterapkan dalam kasus perselingkuhan? 

Apakah perempuan memiliki kewajiban untuk menjaga perasaan perempuan orang lain? Bisa jadi. Tapi pertanyaan saya berikutnya adalah : apakah laki-laki tidak memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga diri sebagai bagian dari komitmen hubungan yang dijalani bersama pacar atau istri? Apakah kewajiban dan tanggung jawab laki-laki tersebut sebagai pasangan LEBIH KECIL dari kewajiban perempuan untuk menjaga perasaan perempuan lain, sehingga wajar kalau perempuan lebih disalahkan ketimbang laki-laki? Can somebody answer this for me?  

Seriously, though. Can somebody really, really answer this for me?

 
What is going on here really? (source : here)

Asosiasi yang berat sebelah inilah yang membuat saya merasa tidak nyaman mendengar ramainya penggunaan istilah pelakor. Kenapa? Karena semakin sering istilah ini digunakan, semakin kuat asosiasi bahwa kesalahan perselingkuhan sepenuhnya melekat pada diri perempuan dan buat saya pribadi, ini tidak adil. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa perselingkuhan terjadi karena istri tidak bisa melayani suami di rumah. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa perselingkuhan terjadi karena istri tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan suami. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa perselingkuhan terjadi karena laki-laki tidak bisa menahan godaan atau kenyamanan yang diberikan perempuan lain di luar rumah. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa laki-laki hanya laki-laki biasa - tidak bisa mengatur urusan yang terjadi di bawah perut.

Do you see the point I'm trying to make here?


Intinya, semua salah perempuan. Baik istri maupun pelakor. Why blame men when you can blame women?


And I hate this kind of narratives, logic, association or whatever.

I hate this (source : here)
     

Make no mistake though : saya tidak membela pelakor karena what these women do are ABSOLUTELY WRONG. Tapi penggunaan istilah pelakor dan asosiasi emosional yang muncul dari istilah tersebut memunculkan sebuah narasi yang, buat saya, salah besar. Sebuah narasi yang menggambarkan pelakor sebagai nenek sihir bertanduk yang menggunakan seluruh pesona kecantikannya untuk menggoda laki-laki yang tidak berdaya. Sebuah narasi yang memindahkan kesalahan perselingkuhan dari sang bawang putih yang tidak bisa apa-apa di rumah, ke tangan sang bawang merah yang penuh tipu daya. Sebuah narasi yang menggambarkan laki-laki sebagai makhluk yang tidak bersalah dalam skenario perselingkuhan karena bawang putih tidak memuaskan, sementara bawang merah terlalu menggoda. Sebuah narasi dimana, apa pun alasannya, pihak yang bersalah tetap perempuan baik itu istri maupun pelakor - sementara laki-laki bisa melenggang kakung dengan leluasa tanpa beban. It's the worst narratives ever

Fuck that narratives.

Fuck that and all the unfairness in the world (source : here)

AND DON'T GET ME STARTED WITH ROMANTIC RELATIONSHIP WITH UNDER-AGES. 
((THAT WOULD BE ANOTHER ANGRY BLOG POST)) 


Si Mbak


(who, in the future, refuses to use the word pelakor. Ever)
(because really, I hate bad narratives)