Monday, March 3, 2014

Perempuan Kadaluarsa





Ibarat barang, saya baru tahu kalau perempuan pun punya tanggal kadaluarsa.

Cerita saya ini berawal ketika hari Sabtu kemarin, saya sedang duduk-duduk santai tanpa alasan sendirian ditemani laptop, secangkir kopi yang sudah setengah habis dan seabrek blog drama Korea untuk dibaca. Saat itu tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang kolega kerja yang kebetulan sedang menunggu temannya di tempat yang sama. Singkat cerita, saya pun diajak beliau menemaninya makan sore-menjelang-malam di restoran pizza sebelah sembari menunggu teman yang ditunggunya muncul. Kami pun bicara ngalor-ngidul seperti biasa - mulai dari topik kantor saya yang ajaib nan misterius, merek skin-care asal Amerika yang mihil luar binasa namun sangat direkomendasikan oleh kolega saya kepada saya yang masih saja terus bermasalah dengan kulit berjerawat, sampai kemudian kami sampai pada topik tentang usia saya yang sudah hampir touch-down tiga puluh namun masih tetap saja melajang. Walaupun topik treakhir ini biasanya saya hindari mati-matian dengan cara apa pun, namun hari itu insting ingin tahu saya sedang hebat-hebatnya. Saya ingin tahu bagaimana perspektif kolega saya ini -yang kebetulan laki-laki berusia di atas 40 (berapa usia tepatnya, beliau tidak pernah mau memberitahu. Yang jelas sih dia masuk kuliah, saya baru lahir. Hahaha) dan belum menikah (although I kinda suspect he's in a relationship. Not a traditional one, but still. In a relationship)- tentang masa depan saya. Saya pikir, beliau akan mendukung rencana saya untuk mencari pekerjaan baru (Jailah. Masih ya Dith?) atau melanjutkan studi. Jawaban yang diberikan beliau cukup membuat saya kaget.

"Kawin Dith. Lo musti kawin. As soon as possible." ujarnya dengan serius.

And my response was (as always): "Kawin sama apa? Sama tembok?"