Ibarat barang, saya baru tahu kalau perempuan pun punya tanggal kadaluarsa.
Cerita saya ini berawal ketika hari Sabtu kemarin, saya sedang duduk-duduk santai tanpa alasan sendirian ditemani laptop, secangkir kopi yang sudah setengah habis dan seabrek blog drama Korea untuk dibaca. Saat itu tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang kolega kerja yang kebetulan sedang menunggu temannya di tempat yang sama. Singkat cerita, saya pun diajak beliau menemaninya makan sore-menjelang-malam di restoran pizza sebelah sembari menunggu teman yang ditunggunya muncul. Kami pun bicara ngalor-ngidul seperti biasa - mulai dari topik kantor saya yang ajaib nan misterius, merek skin-care asal Amerika yang mihil luar binasa namun sangat direkomendasikan oleh kolega saya kepada saya yang masih saja terus bermasalah dengan kulit berjerawat, sampai kemudian kami sampai pada topik tentang usia saya yang sudah hampir touch-down tiga puluh namun masih tetap saja melajang. Walaupun topik treakhir ini biasanya saya hindari mati-matian dengan cara apa pun, namun hari itu insting ingin tahu saya sedang hebat-hebatnya. Saya ingin tahu bagaimana perspektif kolega saya ini -yang kebetulan laki-laki berusia di atas 40 (berapa usia tepatnya, beliau tidak pernah mau memberitahu. Yang jelas sih dia masuk kuliah, saya baru lahir. Hahaha) dan belum menikah (although I kinda suspect he's in a relationship. Not a traditional one, but still. In a relationship)- tentang masa depan saya. Saya pikir, beliau akan mendukung rencana saya untuk mencari pekerjaan baru (Jailah. Masih ya Dith?) atau melanjutkan studi. Jawaban yang diberikan beliau cukup membuat saya kaget.
Cerita saya ini berawal ketika hari Sabtu kemarin, saya sedang duduk-duduk santai tanpa alasan sendirian ditemani laptop, secangkir kopi yang sudah setengah habis dan seabrek blog drama Korea untuk dibaca. Saat itu tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang kolega kerja yang kebetulan sedang menunggu temannya di tempat yang sama. Singkat cerita, saya pun diajak beliau menemaninya makan sore-menjelang-malam di restoran pizza sebelah sembari menunggu teman yang ditunggunya muncul. Kami pun bicara ngalor-ngidul seperti biasa - mulai dari topik kantor saya yang ajaib nan misterius, merek skin-care asal Amerika yang mihil luar binasa namun sangat direkomendasikan oleh kolega saya kepada saya yang masih saja terus bermasalah dengan kulit berjerawat, sampai kemudian kami sampai pada topik tentang usia saya yang sudah hampir touch-down tiga puluh namun masih tetap saja melajang. Walaupun topik treakhir ini biasanya saya hindari mati-matian dengan cara apa pun, namun hari itu insting ingin tahu saya sedang hebat-hebatnya. Saya ingin tahu bagaimana perspektif kolega saya ini -yang kebetulan laki-laki berusia di atas 40 (berapa usia tepatnya, beliau tidak pernah mau memberitahu. Yang jelas sih dia masuk kuliah, saya baru lahir. Hahaha) dan belum menikah (although I kinda suspect he's in a relationship. Not a traditional one, but still. In a relationship)- tentang masa depan saya. Saya pikir, beliau akan mendukung rencana saya untuk mencari pekerjaan baru (Jailah. Masih ya Dith?) atau melanjutkan studi. Jawaban yang diberikan beliau cukup membuat saya kaget.
"Kawin Dith. Lo musti kawin. As soon as possible." ujarnya dengan serius.
And my response was (as always): "Kawin sama apa? Sama tembok?"
(source: here) |
Saya rasa wajar kalau saya frustasi setiap kali mendengar nasihat atau usulan seperti yang terlontar dari mulut beliau barusan. I hate when people (mostly the likes of married smugs) throw advices like this to me from time to time, like it's an easy thing to do. Menikah kan tidak seperti beli barang, bisa sewaktu-waktu dilakukan begitu kita tahu mau beli apa. Lha nikah? It's not like I can go to a convenience store and pick a husband of my own choice from a shelf! (although, speaking from experience, people apparently flirts around at convenience store). Jadi walaupun saya punya niat mulia untuk segera menikah (dan menghentikan omong kosong orang-orang sekitar yang membuat kuping saya sakit), kalau memang belum ada yang dinikahi, ya apa boleh buat kan?
Kolega saya lantas menggelengkan kepala pelan begitu mendengar argumen saya.
"Dith, lo tau nggak? Perempuan itu punya masa kadaluarsa. Lo masuk tiga puluh, lo tu udah dianggap tua. Kadaluarsa. Kalau seandainya lo barang, lo tu udah harus diturunin dari rak dan disimpan dalam gudang sebelum dimusnahkan."
Damn. That's harsh.
Tapi saya pikir-pikir lagi ada benarnya juga. Ibarat barang, ada label khusus yang dilekatkan oleh masyarakat/komunitas/lingkungan sekitar/those-invisible-strangers-that-you-don't-necessarily-know-but-annoyingly-have-a-tremendeous-impact-on-your-life pada manusia (khususnya perempuan) yang berusia 30 tahun ke atas. Saya tidak hanya berbicara soal pernikahan. Bahkan untuk mencari pekerjaan pun, bagi orang-orang yang berusia 30 tahun terasa jauh lebih sulit (Dipersulit barangkali adalah kata yang lebih tepat digunakan disini) ketimbang 'anak muda' yang baru saja lulus kuliah. Kalimat-kalimat seperti: "Berusia maksimal 27 tahun" di berbagai iklan lowongan pekerjaan adalah contoh nyata betapa label "KADALUARSA" itu ditempelkan di punggung-punggung manusia above 30s (Note: menariknya, di negara-negara maju, praktik rekrutmen semacam ini dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi. Iklan lowongan pekerjaan di luar negeri umumnya tidak menyebutkan usia atau gender sebagai salah satu kriteria kualifikasi pekerjaan, karena dianggap tidak relevan dalam menentukan apakah seorang kandidat memiliki kualifikasi atau tidak. Sebuah perusahaan bisa dituntut habis-habisan di pengadilan kalau sampai berani menyebutkan kata umur atau gender sebagai salah satu syarat kualifikasi pekerjaan. Iklan disana umumnya dibuka dengan kalimat "For all interested applicants/ bagi siapapun yang tertarik" jadi tidak ada embel-embel usia maksimal atau kalimat seperti: "Diutamakan Pria". Di Indonesia? Pfft. Yeah rite. Mau nuntut sama siapa? Toh yang mendiskriminasi adalah kaum mayoritas)
(So true it hurts. Source: here. The accompanying article about unlawful discrimination towards older people is great too) |
Pernikahan pun begitu. Label "KADALUARSA" ini dibubuhkan kepada perempuan lajang di atas tiga puluh tahun karena berbagai alasan. Pertama, medically, resiko yang dihadapi perempuan di atas tiga puluh tahun ketika hamil dan melahirkan jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan berusia 20s alias perempuan prime time (Sorry. Can't help it *snicker*). Ketika tujuan utama pernikahan adalah keinginan untuk berprokreasi alias memperbanyak jumlah spesies homo sapiens di dunia maka wajar kalau kemudian perempuan diburu-buru untuk segera menikah dan memiliki anak sebelum mereka (lagi-lagi) kadaluarsa. Kedua, by the age of 30 the holy pool of eligible possible husband-to-be is significantly shrinking. Kebanyakan orang di atas usia tiga puluh sudah menikah dan memiliki keluarga sehingga pangsa pasar yang dituju para lajang pun menciut (tentu saja, ekspansi di luar pangsa pasar utama masih dimungkinkan) hingga seringkali terasa punah tak bersisa. Kalau sudah begini mau tidak mau perempuan di atas usia tiga puluh tak punya pilihan lain selain menjadi kadaluarsa, bukan?
Sad.
I don't necessarily agree with this label but I also can't ignore the fact that it, indeed, exists. Dan sebagai seorang perempuan berusia 28 tahun (wait. Should I not mention my age? Ah. The hell with it), pemahaman tentang label perempuan kadaluarsa ini cukup membuat hati saya ketar-ketir juga. Karena siapa sih yang mau dicap tidak berguna? Selama enam bulan terakhir ini, saya menghabiskan banyak waktu menyiksa diri saya sendiri dengan berpikir tentang apa yang seharusnya saya lakukan di masa depan karena jujur, saya tidak mau menjadi kadaluarsa. Tapi apa yang harus saya lakukan untuk menjadi tidak kadaluarsa pun saya masih belum tahu. Saya punya beberapa opsi yang berkali-kali mampir di kepala saya (salah satu opsi saya adalah menciptakan mesin waktu yang bisa membuat saya memutar waktu ke belakang. Totally doable), namun saya tidak tahu apakah opsi-opsi tersebut tepat buat saya. I feel like this is the scariest stage in my life - dimana saya harus mengambil keputusan besar, apa pun itu, yang akan berpengaruh amat signifikan pada masa depan saya and there would be no turning back.
(Source: here) |
And I'm scaweeedddddddddddd.
Takut apa?
Bukan, saya bukan takut menjadi kadaluarsa.
Saya takut kalau saya tidak bisa membuktikan bahwa saya tidak akan pernah kadaluarsa.
(Sorry I can't end this post on a positive note. It's just not one of those days)
Cheers.
0 comments:
Post a Comment