Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman baik dari luar kota yang kebetulan tengah singgah di Jakarta. Singkat kata, saya pun pergi untuk menghampiri dia di sebuah hotel untuk bertemu dan inilah kalimat pertama yang meluncur keluar dari mulut teman saya begitu melihat saya nongkrong cantik di hotel:
"Wah tambah gem... Eh, tambah subur Mak!"
Haha. Saya sebenarnya sudah menduga munculnya komentar semacam ini bagi seseorang yang sudah lama tidak melihat saya (Look. It's my body. Of course, I am fully aware of its ever-increasing weights. I'm fat - not blind) Dan saya tidak marah, sungguh. Saya hanya mencatat komentar teman saya hari itu sebagai sesuatu yang menarik mengingat kejadian semacam ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Awal tahun ini misalnya, saya pernah ngambek dengan Bapak saya sendiri karena komentar panjang Beliau soal badan saya yang terlihat membengkak. Intinya adalah, teman atau Bapak saya bukanlah orang pertama yang, saya perhatikan, memberi komentar tentang penampilan fisik saya tanpa pikir panjang. Banyak sekali orang yang bersedia memberi komentar soal penampilan fisik orang lain tanpa diminta, baik itu soal berat badan, pakaian yang digunakan warna kulit dan lain sebagainya.
Dan semua ini membuat saya bertanya: What makes people think it's OKAY to talk or comment about somebody else's physical appearance, without being asked to? Apa sebenarnya yang membuat seseorang berpikir bahwa boleh-boleh saja berkomentar soal penampilan fisik orang lain atau bertanya tentang masalah pribadi orang lain, tanpa diminta?
Buat saya pribadi, ada beberapa hal yang sebaiknya tidak ditanyakan atau diucapkan ketika terlibat percakapan dengan orang lain, bahkan dengan seseorang yang dekat sekalipun. Salah satu hal yang sebaiknya tidak diucapkan dalam situasi apa pun, kecuali diminta atau dibutuhkan, adalah berbagai pertanyaan atau komentar tentang hal-hal yang bersifat pribadi, seperti penampilan fisik atau status pernikahan (Pfft. Ketauan. Masih sering ditanyain). Saya memperhatikan kalau pertanyaan atau komentar 'aneh' ini umumnya terlontar sebagai semacam conversational filler atau ungkapan basa-basi karena seseorang sudah kehabisan bahan bicara dan tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan sehingga mereka pun mengambil topik yang tertangkap oleh mata: penampilan fisik.
Well people, here's an idea: SHUT UP. Ketika kecil dulu, saya ingat Ibu saya pernah berkata: "Kalau yang nggak mutu-mutu itu, nggak usah diomongin" dan entah bagaimana, kata-kata ini masih saya ingat dan saya jadikan prinsip (walaupun Ibu, sang pencetus, barangkali sudah lupa pernah berbicara seperti ini. Haha). Saya bukanlah orang yang akan memberi komentar soal penampilan fisik atau pertanyaan pribadi lainnya just to fill in the lul in the conversation sehingga kemudian saya pun mengharapkan orang lain untuk melakukan hal yang sama kepada saya (sesuatu yang, sayangnya, sering membuat saya kecewa). Random story: saya pernah berada dalam satu lift dengan seorang kenalan kantor yang tidak pernah saya ajak bicara sebelumnya. Barangkali karena tidak tahan diam-diaman tanpa berbicara, dia pun nyeletuk: "Sudah berkeluarga, Dith?" Wow. Practically a stranger, yet dare to ask such a personal question to me?
Dia beruntung, saya sedang tidak memegang benda tajam.
My reaction every time someone asks about my marital status (Source: beam-me-up-broadway tumblr) |
Beberapa orang barangkali akan berdalih seperti ini : "Kan cuma basa-basi, Dith. Chit-chat." atau alasan klasik: "Bercanda Dith. Nggak usah dimasukin serius lah." atau alasan lainnya yang terlalu menggeneralisir semua orang: "Semua orang juga gitu kali, Dith." Er, first of all: No excuse. Masih banyak topik basa-basi atau lelucon lain yang bisa digunakan dalam percakapan, selain komentar soal penampilan fisik atau hal-hal yang sifatnya pribadi. Dan tidak, tidak semua orang menggunakan komentar soal penampilan fisik atau bersikap 'sok-kenal-sok-dekat' dalam percakapan. Saya tahu banyak orang-orang yang lebih sensitif dan memilih untuk tidak melontarkan komentar-komentar tersebut ketika sedang berbicara dengan orang lain karena mereka punya lebih banyak hal penting untuk dibicarakan. Dan kalaupun tidak ada lagi hal penting yang bisa dibicarakan untuk keperluan basa-basi, shut up would be the best option.
Kenapa saya bilang diam adalah pilihan yang terbaik?
Pertama, berbagai komentar atau pertanyaan yang menyangkut hal yang sifatnya pribadi umumnya memiliki potensi untuk menyakiti hati orang lain. Tidak percaya? Take me, for example. Saya tidak pernah suka dikomentari gendut, hitam atau jerawatan karena berbagai komentar ini, yang umumnya dilontarkan sepintas lalu dan tanpa beban, sesungguhnya dapat diartikan juga (oleh saya) sebagai sebuah pernyataan bahwa orang lain menganggap saya jelek atau tidak sedap dipandang dan sebaiknya pergi jauh-jauh daripada jadi polusi pemandangan (There. I said it. A very simple truth behind all that harmless joke about physical appearance). Beruntung, as an adult, saya punya self-image yang terbilang cukup positif, dalam arti saya menerima kelebihan dan kekurangan yang saya miliki saat ini dan relatif tidak membutuhkan approval dari orang lain to feel good about myself. Setiap kali mendengar komentar menyebalkan soal penampilan fisik, saya biasanya tidak peduli. Again, this is my body. It's not perfect but I am perfectly fine with it. The hell with everyone else. You don't like it?
Well here's a fork. You can stab your own eyes with it.
Get ready, you stabbed-worthy bunch of arsehole (Picture taken from here) |
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kalau orang yang dikomentari tidak sebebal saya? Bagaimana kalau seseorang memasukkan komentar-komentar tentang penampilan fisik ke dalam hati? Bagaimana kalau komentar-komentar negatif tentang penampilan fisik membuat seseorang merasa tidak berharga? Bagaimana kalau berbagai komentar negatif yang kita lontarkan sepintas lalu akan merusak self-image seseorang dan berujung pada perilaku destruktif?
Dan inilah alasan berikutnya mengapa kehati-hatian dalam berbicara menjadi sangat penting artinya: kita tidak benar-benar tahu sejauh mana pengaruh yang bisa kita timbulkan dalam diri orang lain. Rasanya peribahasa 'Mulutmu adalah Harimaumu' tak hanya berarti bahwa apa yang kita ucapkan dapat membahayakan diri sendiri, namun apa yang kita ucapkan pun dapat membahayakan orang lain. Mungkin kesannya berlebihan, namun kita tidak pernah benar-benar tahu. As human, we have influence on each other in the way that we don't really understand. Siapa yang tahu kalau komentar kecil yang kita ucapkan dengan santai bisa saja menyebabkan seseorang menangis? Siapa yang tahu kalau komentar kecil yang kita ucapkan bisa saja menyebabkan seseorang depresi dan melakukan hal-hal yang buruk? Seriously, nobody knows. Saya pernah membaca buku berjudul Thirteen Reasons Why karangan Jay Asher, yang kurang lebih mengisahkan hal yang sama dengan apa yang baru saja saya tulis: bahwa hal-hal yang terkesan remeh pun bisa berujung pada hal tragis yang tidak terduga.
Lagipula kita juga tidak pernah sepenuhnya tahu perjuangan hidup yang sedang dijalani seseorang. Kita mungkin berkomentar soal orang gendut tanpa pernah tahu kalau orang tersebut ternyata sedang didera stress berat dan salah satu pelampiasannya dilakukan melalui makanan. Kita mungkin berkomentar soal orang kurus tanpa pernah tahu bahwa orang tersebut barangkali memiliki gangguan pencernaan atau worse, eating disorder. Kita mungkin berkomentar tentang seseorang yang terlihat seksi tanpa pernah tahu bahwa orang tersebut harus berurusan pelecehan seksual seumur hidupnya (Me and possibly every women in the world. Will talk about this some other time). Intinya sederhana: we never know, so be careful.
Sekali lagi, saya tidak sedang marah. Saya hanya mengungkapkan sedikit pendapat because I think it's never okay to comment on somebody's physical appearance, without being asked to. Saya juga tidak pernah bilang kalau saya tidak akan pernah melakukan kesalahan yang sama. Tapi saya selalu berusaha untuk bersikap lebih sensitif, berusaha untuk tidak melontarkan komentar apa pun yang bersifat negatif soal penampilan fisik orang lain atau pertanyaan pribadi lainnya, tanpa diminta atau dibutuhkan. Sebaliknya, saya belajar mengingatkan diri saya untuk melihat hal yang positif dari lawan bicara dan memberi pujian dengan tulus tanpa dibuat-buat. Nothing is wrong about making people feel good about themselves, rite?
Salah seorang teman dekat saya pernah berbagi cerita tentang betapa suatu hari, dia tidak sengaja menyinggung perasaan teman baiknya dengan sebuah komentar sederhana tentang berat badan. Komentar ini sempat membuat hubungan pertemanan keduanya sedikit menegang selama beberapa waktu. Dari situ, teman saya pun memetik pelajaran dan dengan baik hatinya, berbagi pelajaran itu dengan saya: "If you don't have anything nice to say, it's better not to say anything at all." (Kalau tidak punya hal positif untuk diucapkan, diam adalah langkah terbaik)
True.
So let's talk but be nice.
Please? (Source: thedailyquotes) |
Cheers,
Si Mbak
0 comments:
Post a Comment