Sunday, May 9, 2010

Nyaman Dengan Diri Sendiri

Berapa kali dalam hidup kita mengatakan hal seperti ini?
" Ih pengen nurunin berat badan deh"
" Ih coba agak putihan dikit "
" Ih coba nggak jerawatan ya... "

Oke, ketahuan. Itu barusan saya curhat.

Tapi serius. Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan pencerahan tentang masalah besar dari satu hal yang begitu kecil dan sepele. Saya belajar merasa nyaman dengan diri saya dari high heels saya.

Saya jarang sekali mengenakan sepatu hak tinggi untuk beberapa alasan. Alasan pertama tentu saja adalah masalah kepraktisan. Meskipun menarik untuk dilihat dan bisa memberi efek menggoda pada bagian pantat saya yang selalu membutuhkan bantuan visual (baca: tepos), sepatu hak tinggi sangatlah tidak praktis digunakan bagi saya yang notabene adalah seorang pejalan kaki dan pengguna transportasi umum. Bayangkan berjalan kaki selama lima belas menit dari kostan ke halte busway dan berdiri selama kurang lebih setengah jam di dalam busway sambil berdesakan dengan menggunakan sepatu hak tinggi. Beauty is pain, people. And high heels is definitely the best killer weapon.

Alasan kedua tentang mengapa saya jarang menggunakan sepatu hak tinggi adalah karena saya merasa tidak nyaman menambah tinggi pada badan saya yang sudah tergolong tinggi untuk perempuan Indonesia. Sejak dulu selalu saja ada yang berkomentar seperti ini "Ya ampun kamu kok tinggi banget sih?! " atau " Jangan tinggi-tinggi kenapa " dan berbagai jenis komentar lain yang barangkali dimaksudkan sebagai canda atau bahkan pujian namun hati saya yang rapuh dan terlalu sensitif ini mengartikan lain. Berkali-kali saya berharap dalam hati seandainya saja saya punya tinggi badan yang 'standar' perempuan Indonesia karena di dalam kepala saya yang kecil ini, teman-teman saya malu punya teman tinggi seperti saya. Pubertas memperparah semuanya. Komentar semacam ini bukan komentar yang asing bagi saya "Susah ya dith cari cowok yang tingginya melebihi kamu" atau "Aku ga pede jalan sama kamu karena kamu tinggi" (you can guess. Yang ngomong cowok. Dan bukan cuma satu orang yang ngomong begini)

Sederhana dan terdengar sepele kan? Tapi satu hal kecil ini adalah salah satu contoh ketidaknyamanan saya terhadap diri saya sendiri. Sampai beberapa hari lalu ketika akhirnya saya memutuskan untuk memakai sepatu hak tinggi saya ke kantor dengan berjalan lima belas menit dari kostan ke halte dan berdiri setengah jam di dalam busway. Terlepas dari hasil akhir kaki saya yang terasa retak-retak dan kenyataan bahwa pada akhirnya bagian tumit kaki saya berhias plester kuning menyala dengan gambar kartun anak-anak, saya merasa luar biasa puas dan senang karena saya terlihat cantik dengan sepatu tersebut. Saya bertambah tinggi kurang lebih 5-7 senti dan saya merasa puas! Hehe... Dalam hati, dengan sombong saya menyamakan diri saya dengan model *kepedean*

Anyway seorang teman tiba-tiba mengatakan ini: " Kamu itu udah tinggi, ngapain ditambahin tinggi lagi? Nanti cowok-cowok makin lari " (teman saya ini sepertinya sangat khawatir sekali tentang kenyataan saya yang masih menjomblo. Karena selain sepatu hak tinggi, dia juga pernah mengatakan kepada saya untuk tidak bersekolah tinggi-tinggi. Katanya karena cowok cenderung minder dengan perempuan yang berpendidikan tinggi --> hm)
Dan apa jawab saya? " Bukan urusan gue kalo mereka ga punya rasa percaya diri "

ahay! Saya suka diri saya yang memakai sepatu hak tinggi.

Intinya sih sebenarnya sederhana. Kekurangan adalah sesuatu yang tidak terlepaskan dari diri manusia. Tapi bukankah suatu kekurangan hanya akan menjadi kekurangan kalau kita menganggapnya seperti itu? Siapa tahu kalau kita mencoba menjungkirkan cara pandang kita, kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang lupa kita hargai. Semua tergantung pilihan.

*sok bijaksana*

Bahasa dan Pilihan Hidup

Satu hal yang belakangan ini seringkali terucap dalam hati saya sebagai keinginan adalah harapan untuk kembali duduk di bangku SMA namun dengan wawasan dan otak yang saya miliki sekarang.

Tidak perlu susah-susah mengatakan "mimpi!!" karena saya tahu keinginan di atas tidak akan pernah terkabul kecuali bulan depan tiba-tiba ada ilmuwan jenius yang menciptakan mesin waktu. Namun yang ingin saya bicarakan di sini bukanlah soal kemungkinan terciptanya mesin waktu dalam beberapa waktu ke depan tapi betapa sesungguhnya manusia memiliki sejuta pilihan untuk masa depan.

Saya masih ingat ketika SMA dulu, sekolah memberikan sebuah daftar isian dimana saya diminta mengisi pilihan jurusan yang saya minati ketika kelas 3 nanti. Tentu saja saya mengisi IPA sebagai pilihan pertama dalam daftar tersebut. Pilihan tersebut saya ambil berdasarkan logika saja. Jujur saya ingin menulis BAHASA tapi jalan yang berada di depan jurusan IPA terlihat lebih gemerlap. Lagipula apa yang akan dikatakan orangtua saya? Benar saja ketika ketika saya berkeinginan melakukan kompromi dan menulis BAHASA di pilihan ketiga, ayah saya mengatakan ini kepada saya : "Tulis. Pilihan pertama, kedua, ketiga IPA"