Monday, May 14, 2012

Going Dutch dan Emansipasi Wanita


Ketika sedang menempuh persiapan untuk sekolah ke Australia setahun yang lalu, salah seorang tutor saya memperkenalkan saya dengan sebuah istilah baru yang belum pernah saya dengar sebelumnya: “Going Dutch”. Tutor saya pun kemudian menjelaskan dengan panjang lebar bahwa istilan ini biasanya digunakan ketika kita sedang keluar makan bersama-sama dengan teman (atau pasangan kencan) dan ingin membayar pengeluaran yang sudah kita habiskan secara terpisah. Saya ingat saya tertawa geli sendiri: “Oh maksudnya going dutch itu yarwe-yarwe tho? (bayar sendiri-sendiri atau bayar dhewe-dhewe dalam bahasa Jawa)”

Apakah ini berarti orang Belanda pelit-pelit?

Jawabannya tidak. Tutor saya melanjutkan penjelasannya dengan gamblang dan bercerita bahwa kebiasaan membayar sendiri pengeluaran yang sudah dikeluarkan setelah makan bersama atau melakukan aktivitas sosial lainnya secara bersama-sama berasal dari tingginya tingkat emansipasi wanita di negeri kincir angin ini. Di Belanda, wanita sudah mendapatkan kebebasan untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup termasuk di antaranya keputusan untuk bekerja (atau tidak), keputusan untuk memilih pasangan hidup sampai keputusan soal orientasi seksual. Kebebasan ini benar-benar menempatkan kaum wanita di Belanda di posisi yang sama dengan para prianya (bukan lagi sekedar jargon), termasuk dalam hal kemampuan dan keberanian untuk mengambil tanggung jawab dalam kehidupan. Inilah sebabnya mengapa, menurut Ellen de Bruin, seorang psikolog dan jurnalis terkenal dari Belanda, kebanyakan wanita Belanda memiliki kepribadian yang tegas [1]. Lebih lanjut, De Bruin juga menggambarkan betapa perempuan Belanda adalah tipe perempuan mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, sehingga ketika berpakaian pun perempuan Belanda lebih memilih pakaian yang memudahkan mereka untuk bergerak ketimbang pakaian cantik untuk menarik perhatian lawan jenis. Masih menurut De Bruin, keberadaan jaringan sosial yang memadai oleh Pemerintah Belanda turut mendukung perempuan untuk memiliki kebebasan dalam berpikir dan pada gilirannya, mendorong tingginya tingkat emansipasi wanita dalam masyarakat Belanda.          

Kalau hendak dirunut, tradisi kebebasan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat Belanda bukanlah hal yang baru. Bahkan, perempuan Belanda lah yang memperkenalkan ide emansipasi wanita kepada Raden Ajeng Kartini dan melalui korespondesinya dengan seorang Estella Zeehandeelar, pemikiran-pemikiran kritis RA Kartini untuk kemajuan kaum perempuan mulai bermunculan, khususnya tentang pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan Indonesia [2]. Sayangnya, meski posisi perempuan Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan posisi perempuan Indonesia di zaman RA Kartini, emansipasi dan kebebasan bukanlah sesuatu yang benar-benar dirasakan perempuan di sini. Karena toh, berpakaian pun kita masih diatur-atur.

 Yang menarik, sejajarnya posisi wanita dan pria dalam pola kehidupan bermasyarakat di Belanda ini kemudian membuat perempuan-perempuan Belanda menjadi salah satu perempuan paling bahagia di dunia. Mengutip pernyataan de Bruin [3], kalau perempuan di Perancis tidak mudah gendut, perempuan di Belanda tidak mudah depresi (“French women don’t get fat, Dutch women don’t get depressed”). Dan rasanya tidak berlebihan untuk kemudian mengambil asumsi bahwa ketika perempuan berbahagia, maka seluruh bangsa pun ikut berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari hasil World Happines Report pertama yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana Belanda menempati peringkat keempat negara paling bahagia di dunia [4]. Sounds great, doesn’t it?

Jadi perempuan Indonesia, sudah siap untuk going dutch?    


Sumber

0 comments:

Post a Comment