Saturday, September 18, 2010

Disconnected From My Own Culture

Hey y'all!!

Akhirnya pecah telur juga. Kalau dipikir-pikir udah lama banget saya tidak menulis apa-apa di blog yang seharusnya saya jadikan ajang mencurahkan hati dan perasaan ini (does it mean I dont have feeling? Bisa jadi. Nyehehehehe). Postingan terakhir di blog ini ternyata adalah cerita pendek ketika saya baru menginjakkan kaki dua minggu di Sydney, ketika saya hanya seorang turis baru bahagia yang berpikir hidup sudah sempurna ketika ada kamera di tangan dan duit di dompet (yaiyalah). Tiga bulan kemudian, ternyata saya menjelma menjadi mahasiswa postgrad baru yang empot-empotan belajar sampai bela-belain nongkrong di perpus dari pagi demi mengejar deadline assignment yang tinggal dua hari lagi (emang kemaren-kemaren kemana aja? Jawabannya sederhana. Masih jadi turis :D)

Eniwei bukan itu yang mau ceritakan hari ini. Saya masih punya banyak waktu untuk mengeluh soal kuliah.

Saya mau bercerita tentang acara Pesta Kampung 2010 yang saya hadiri hari ini di Sydney Park. Pesta kampung adalah semacam acara gathering yang diselenggarakan oleh PPIA NSW untuk (khususnya) orang-orang Indo yang lagi bermukim di Sydney. Di pesta kampung tadi kita bisa melihat banyak hal, mulai dari stand makanan Indonesia (yang membuat saya cukup menggila dengan lompat dari stand satu ke stand lainnya. Adios body shape xp ), photo booth buat mereka yang ingin berfoto menggunakan kostum tradisional dari Indonesia, games khas Indonesia macam lomba makan kerupuk plus lomba balap karung dan tentu saja cultural performance (Nyanyi bisa dibilang cultural performance nggak ya? Bisa lah, apalagi kalau nyanyinya pake bahasa Indonesia. Cuma band yang perform di slot pagi kayaknya lebih memilih nyanyi lagu Barat daripada lagu Indonesia. Something that I considered weird. After all, this is an Indonesian festival. Harusnya mereka nyanyi lagu dangdut - yang walaupun mungkin kedengerannya tidak sekeren lagunya Maroon 5 - adalah "the music of my country")

Cultural performances yang ditunjukkan hari ini terbagi dalam beberapa segmen, namun yang paling menarik menurut hemat saya adalah tari Saman yang melibatkan 50 orang mahasiswa yang menari secara bersamaan. Tentu saja, besar sebagai orang Indonesia, ini bukanlah hari pertama saya melihat tari Saman secara langsung. Apalagi saya hidup dan besar di Aceh, tempat tarian Saman berasal, selama kurang lebih 13 tahun - adalah hal yang wajar ketika kemudian orang sering sekali beranggapan kalau saya bisa menarikan tarian tersebut.

Kenyataannya tidak. Saya tidak bisa menari Saman, tidak bisa menari Jawa. Saya tidak bisa berbicara bahasa Aceh (kata-kata dalam bahasa Aceh yang masih bisa saya ingat cuma kata-kata kasar), tidak bisa pula berbicara bahasa Jawa halus. Lagu daerah Aceh yang saya ingat cuma Bungong Jeumpa - itupun hanya beberapa baris awal saja. Saya nyaris buta tentang lagu Jawa dan cuma bisa bengong kalau disuruh nyinden. Kaset pertama yang saya beli ketika remaja adalah kaset Hanson dan lagu yang sedang saya dengarkan sekarang adalah lagu BigBang, boyband Korea yang saya sukai.

Saya ini siapa?

Tiba-tiba saja, di depan tari Saman yang sudah berkali-kali saya lihat itu, saya menyadari dengan pahit bahwa saya adalah seorang anak generasi Indonesia yang terputus dari budayanya sendiri. Ketika masih berada di tengah-tengah lingkungan orang Indonesia, kesadaran ini belum benar-benar menyeruak. Tapi sekarang, berada di antara orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, mau tidak mau saya melihat kembali kebelakang - ke akar yang seharusnya saya miliki. Ke asal yang seharusnya saya kenali.

Sayangnya saya tidak punya apa-apa.

Saya masih ingat ketika saya masih duduk di bangku SMA dulu. Saya diberi kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Australia (intermezzo: bukti bahwa orang yang bikin pepatah kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda tidak bohong. Walaupun saat itu saya tidak lolos sebagai salah satu peserta pertukaran pelajar, ternyata jalan saya untuk jadi pelajar di Australia terbuka lagi setelah.. ehm let me see, 8 tahun kemudian?) dan salah seorang guru saya bertanya apakah saya punya sesuatu berbau kebudayaan yang bisa saya tunjukkan? Tidak sampai setengah jam kemudian, guru saya melihat saya dengan tatapan hopeless. Saya tidak bisa apa-apa.

Saya tidak ingin bilang bahwa semua anak Indonesia sekarang ini tumbuh seperti saya. Masih banyak anak-anak yang tahu bagaimana caranya menari atau bernyanyi dengan kebudayaannya masing-masing. Tapi saya juga tidak yakin apakah saya adalah satu-satunya anak Indonesia yang tumbuh sambil terputus dengan kebudayaannya sendiri. Saya cuma takut bahwa akan makin banyak anak Indonesia yang fasih bernyanyi lagu Rihanna atau Justin Bieber tapi tidak tahu Cublak-Cublak Suweng itu lagu dari daerah mana.

Kalau sudah begitu apa kita masih punya hak untuk marah ketika budaya kita dirampas?



Owkay. Too serious.

1 comment:

  1. thanks for tulisan ini mba, akhirnya mba judith nulis lagi hehehehe....jadi renungan buatku juga mba, untuk menghargai negeri kita tercinta Indonesia :)

    ReplyDelete