Friday, July 11, 2014

Agree To Disagree Edition: Pakaian, Objektifikasi Perempuan dan Rape Culture

Salah seorang teman baik saya membuat postingan blog singkat nan menarik yang mengingatkan saya pada salah satu draft blog saya sendiri yang sudah lama tersimpan (you might not believe this, but I have a bulk of blog post drafts - most of them written as my way to procrastinate because I dont want to do my real jobs. Wait. Do I have a job? *snicker* Enough rambling!)

Inti dari postingannya sederhana saja: bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan jargon "Don't tell us how to dress but tell them not to rape" Awalnya, ketika saya membaca postingan ini, I was like: "Yeah! Totally agree!" (pada saat itu, sayangnya saya melewatkan kata "tidak 100%" yang ditulis di awal paragraf, yang baru terbaca setelah saya kembali membaca postingan ini untuk kedua kalinya. Kalau saya sudah membaca dari awal, mungkin saya tidak akan menyatakan setuju. Because well. I don't agree.). Namun saya langsung mengrenyitkan dahi di akhir postingan ketika ia menyebut bahwa (and I paraphrased here): "Ingin berpakaian dengan baik karena tidak ingin menjadi pemicu"

And my brain came to a screeching halt. 






Kalau begitu, sama saja kalau ia tidak setuju sama sekali tentang jargon "Don't tell us how dress but tell them not to rape". Dengan kata lain, sahabat baik saya telah mengiyakan asumsi yang menyebutkan bahwa pakaian yang dikenakan perempuan dapat memicu pemerkosaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Hm.

Here's where my disagreement comes from. 

Berbeda dengan teman saya tadi, saya justru tidak pernah setuju atau menerima statement bahwa pakaian yang dikenakan wanita dapat memicu pemerkosaan. Alasan saya sederhana saja: menyetujui pernyataan ini berarti menguatkan mindset atau pola pikir atau stereotype bahwa kesalahan terletak pada diri perempuan dan laki-laki adalah monster tidak berdaya yang tidak bisa berpikir dengan menggunakan akal sehat kalau sudah diganggu gugat area di bawah perutnya. I have a major problem with this mindset. Buat saya, pola pikir ini mendorong terbentuknya rape culture dan victim-shaming, dimana korban justru disalahkan atas kejadian yang terjadi atas dirinya (atau diri perempuan lain di sekitarnya) dan memunculkan tendensi permisif kepada sang pelaku. Padahal mari kita lihat kenyataan sederhana yang sesungguhnya di balik setiap pemerkosaan: RAPE IS ALWAYS NON-CONSENSUAL. Semua pemerkosaan adalah bentuk pemaksaan kehendak secara sepihak, tanpa persetujuan dari pihak korban. Semua pemerkosaan adalah bentuk perampasan hak asasi MANUSIA untuk merasa aman dengan dirinya sendiri. Pakaian apa pun bukan berarti pembenaran bahwa perampasan hak asasi ini bisa dan boleh dilakukan. Bahkan seorang pekerja seks komersial sekalipun, bisa menolak kalau dia tidak mau melakukan pekerjaannya. 

No is a f*cking no. I should be the one giving permission, not my clothes. 

Hey, rapists (source: funscrapes)

Lagipula pemerkosaan bukan masalah sederhana apakah perempuan memakai celana pendek atau tidak. IMHO, munculnya pemerkosaan dan lebih lanjut, rape culture (saya agak ragu mengartikan kalimat ini sebagai 'budaya pemerkosaan'. Isn't it scary to accept the fact that the society you're living in encourages and embraces rape as something normal? *shiver*) adalah komplikasi dari banyak sekali faktor termasuk di antaranya budaya patriarki dan sistem pendidikan yang menempatkan wanita sebagai nomor dua serta supremasi hukum dan keamanan nasional yang lemah. Inilah sebabnya mengapa saya menolak untuk menerima mentah-mentah bahwa pakaian adalah penyebab pemerkosaan karena pernyataan semacam ini muncul dari pola pikir heuristik (sederhana). Sesungguhnya, pemerkosaan disebabkan oleh pemerkosa yang pola pikir bajingannya terbentuk oleh budaya masyarakat yang menerima bahwa wanita bukan manusia, melainkan objek seksual yang bisa diapa-apakan dan faktor supremasi hukum lemah yang membuat pemerkosa merasa bisa dengan mudah menghilangkan rasa bersalahnya dan melarikan diri dari jeratan hukum karena well, paling yang disalahkan juga perempuan. Tidak percaya? Coba saya buat gambaran sederhana: karena keamanan yang kurang, pemerkosaan mudah terjadi dimana-mana. Ibu yang ketakutan kalau anaknya akan menjadi target pemerkosaan mengingatkan anak-anaknya (baik perempuan maupun pria) bahwa perempuan sebaiknya tidak berpakaian seronok atau menggoda. Lalu, di dalam pikiran anak-anak ini pun terbentuk pola pikir yang menarik garis lurus bahwa pakaian menggoda ekivalen dengan pemerkosaan atau dengan kata lain, pakaian perempuan adalah sumber dari segala masalah, bukan si pelaku pemerkosaan apalagi keamanan nasional. Pelaku pemerkosaan kemudian bebas berkeliaran dengan bersembunyi di balik budaya masyarakat yang menganggap pakaian wanita adalah masalah serta keamanan yang ringkih. Tidak ada orang yang seratus persen meletakkan kesalahan kembali - SEPENUHNYA - pada si perampok hak asasi wanita ini.
     
And the circle of hell repeats itself. 


Sad (source: RespectWomen. The accompanying article is a good one, too. Please have a read)

Alasan lain kenapa saya tidak pernah setuju dengan statement 'pakaian memicu pemerkosaan' adalah karena menyetujui statement ini berarti menerima dan menanamkan pola pikir bahwa wanita bukan manusia, melainkan objek seksual yang hanya didefinisikan melalui pakaian yang ia kenakan. Contoh sederhana saja: memang apa bedanya wanita dan pria ketika menggunakan celana pendek? Toh sama-sama manusia, sama-sama menampakkan kaki. Lalu kenapa semua orang mempermasalahkan ketika wanita memakai celana pendek? Here's the answer: karena wanita tidak pernah dilihat sebagai manusia. Perempuan hanya dilihat sebagai OBJEK SEKSUAL. Barang biasa yang bisa diapa-apakan tanpa dihormati dan dihargai hak asasinya sebagai manusia. 

Nah (source: Hastagboop via Gwynne Meeks tumblr)
Sayangnya, persepsi ini (disadari atau tidak disadari) dilakukan baik pria atau wanita di sekeliling kita serta terus menerus diperkuat melalui berbagai medium dalam masyarakat. Salah satunya adalah fenomena di televisi Indonesia yang baru saya perhatikan beberapa waktu belakangan (saya baru menyadari ini karena saya tidak punya televisi sendiri. I know! What kind of people who doesn't own a television? Well *points to self*). Tayangan televisi di Indonesia rupanya mulai memiliki kecenderungan lucu untuk mensensor bagian payudara perempuan.

To which I rolled my eyes so hard.

Gosh. Perempuan  punya payudara. Laki-laki pun punya. Semua manusia punya. Ini takdir.
Get over it, people.


BOOOOOOOOOBBBSSSSSSSS!! (Backstory: I googled this for a very long time and ended up laughing a lot. My sense of humour is weird. Source: here)

Sekali lagi, hal-hal kecil semacam ini barangkali terlihat sepele namun menguatkan pola pikir tentang objektifikasi wanita, rape culture dan victim shaming dalam berbagai aspek masyarakat termasuk di antaranya  dalam bidang pendidikan, hukum dan keamanan - dan pada akhirnya, semua faktor ini melebur menjadi satu hingga menjadi budaya dalam masyarakat yang mengorbankan wanita. THIS IS A HUGE PROBLEM

Jadi kalau sahabat baik saya menutup postingannya dengan menyatakan ia menolak untuk menjadi pemicu, saya akan menutup postingan saya dengan kalimat ini:

Saya menolak menerima stereotype bahwa pakaian yang saya kenakan adalah pemicu pemerkosaan. Because rape is NEVER women's fault. It's the perpetrator's fault and moreover, it's society's fault.

(Target hidup: menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Totally doable)


Cheers!
Si Mbak.
 

0 comments:

Post a Comment