Friday, July 20, 2012

Cerita Tentang Tersesat

Pictures taken from here


Saya ini gampang sekali tersesat di jalan alias nyasar.

Salah satu cerita tentang ketersesatan saya ini adalah ketika suatu hari, saya harus pergi ke daerah Meruya di Jakarta Barat, yang notabene adalah daerah Jakarta yang paling tidak pernah saya sambangi. Ketika berangkat, saya sudah diberi ancer-ancer oleh salah seorang teman sehingga saya berangkat dengan hati yang cukup percaya diri (walaupun ternyata ancer-ancer sang teman tidak benar-benar tepat sasaran). Setelah sempat nyasar naik angkot dan berbekal tanya bolak balik kepada supir angkot dan abang tukang ojek yang akhirnya bersedia mengantarkan saya dengan ongkos lima ribu rupiah saja, sampailah saya ke tempat saya yang tuju dengan selamat walafiat dan tepat waktu. Tapi yang penting saya sampai.

Masalahnya kemudian ketika saya hendak pulang.



Setelah bertanya singkat kepada sekuriti yang ada di sana, saya disuruh untuk naik tanjakan lalu menunggu metromini nomor 92 untuk sampai halte busway terdekat. Sampai lima menit saya menunggu di pinggir jalan yang ramai, metromini itu tidak kunjung datang juga. Saya pun memutuskan untuk nekat saja naik Mikrolet M-11 yang tidak saya tahu tujuannya hendak kemana. Saya pikir, ya sudahlah pasti nanti sampai besar. Begitu lihat halte busway, saya akan bergegas turun dari mikrolet dan naik busway yang saya sudah tahu rute dan jalurnya karena sudah biasa. Dari sinilah dimulai kesialan saya. Begitu saya naik ke dalam mikrolet, tepat di belakang ternyata muncul metromini nomor 92 yang tadi direkomendasikan pak satpam. Damn. Ya sudah, saya memilih terus di dalam mikrolet daripada harus buru-buru turun. Saya terus menunggu dan menunggu sampai akhirnya mikrolet sampai di jalan besar dan saya melihat salah satu busway melintas di depan. Berarti ada halte di depan! Tapi alih-alih langsung turun dan berjalan sedikit menuju halte, saya terus menunggu di mikrolet, berharap bisa turun di tempat yang lebih dekat dengan halte supaya tidak jauh-jauh jalan. Yang saya tidak tahu adalah si mikrolet ini kemudian belok kiri dan membawa saya menyusuri jalan menuju tempat yang tidak saya ketahui dan sama sekali tidak ada halte busway. Damn number two.

Cerita belum berakhir sampai situ dan lucunya, saya tidak panik. Saya pikir, ya sudahlah. Sampai manapun juga tidak apa, kalau akhirnya benar-benar nyasar dan bingung saya akan naik taksi. Jadi saya menunggu dan menunggu lagi sampai salah seorang penumpang naik dan bertanya: "Tanah Abang, bang?" Damn number three.

Saya kaget. Ternyata saya naik mikrolet tujuan Tanah Abang. Tapi saya tetap memutuskan untuk tidak turun karena lagi-lagi saya berpikir nanti di Tanah Abang juga akan ada kendaraan yang bisa saya naiki. Jadi saya kembali menunggu di dalam mikrolet. Di tengah jalan, saya melihat halte busway Slipi Petamburan tapi saya tetap tidak turun. Saya memutuskan untuk langsung ke Tanah Abang. Dan sampailah saya di Tanah Abang, the ultimate maze of Jakarta. Dan saya... bingung sendiri. Haha. Damn number four.

Karena berada di tengah-tengah pasar Tanah Abang yang ruwet dan sumpek dan banyak orang yang berteriak-teriak, saya menghabiskan waktu berputar-putar di dalam mencari jalan keluar (atau tanda-tanda jalan raya) selama hampir lima belas menit. Saya akhirnya melihat angkot bertuliskan "Roxy-Tanah Abang-Benhil". Saya pun naik, berpikir (uhm lebih tepatnya berharap) kalau angkot ini akan menuju benhil yang berarti saya bisa mencari halte busway Bendungan Hilir di depan mall Semanggi. Tapi di tengah jalan, saya melihat semua penumpang turun di satu tempat: Thamrin City. Saya pun ikut-ikutan turun, dengan niat untuk melihat Thamrin City yang sudah seringkali diceritakan kepada saya oleh teman-teman kantor. Tapi sesampainya di dalam, saya lagi-lagi bingung sendiri. Karena sudah tidak tahan ingin segera pulang atau paling tidak menemukan jalan yang familiar, saya memutuskan untuk naik taksi saja dan pergi ke Sarinah, untuk mencari makan dan naik busway dari halte di sana. Setelah taksi meluncur keluar bangunan, saya baru sadar kalau ternyata: Thamrin City itu pas di belakangnya Grand Indonesia, yang berarti dekat dengan halte busway Plaza Indonesia. Jadi saya bisa saja langsung jalan kaki keluar tanpa harus capek-capek bayar taksi yang ternyata harus berputar dulu di Medan Merdeka Selatan, sebelum akhirnya sampai di Sarinah. Haha *tertawa pahit* Damn number five.



Jadi ini demi apa ini bagi-bagi cerita soal nyasar?

Because I just realized, that this is really the story of my life.
Being lost and not knowing where to go.
Keep letting go opportunities as I wait for something that I don't even know what.


:)

1 comment:

  1. Boo. akhirnya harus ya nendang gitu.. harus.. harus..? *merasa tertohok sebagai tukangnyasar-fellow

    ReplyDelete