Saturday, November 22, 2014

Mengejar Pintar atau Nilai Bagus?

 
(sumber: serious insanity)
Ada dua kejadian kecil yang menarik perhatian saya minggu ini.


Kejadian pertama terjadi di awal minggu, ketika salah seorang eselon IV di kantor saya, sebut saja Bapak A, datang menghampiri saya di ruangan untuk meminta tolong (random note: sebagai gambaran singkat bagi teman-teman yang barangkali masih awam soal jenjang karir dalam birokrasi pemerintahan, jenjang karir dalam pemerintahan masih berupa jabatan struktural berjenjang dengan urutan (dari yang paling bawah hingga paling atas): staf/obyek penderita - eselon IV - eselon III - eselon II - eselon I. Menteri atau Kepala LPNK (Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian) yang berada di atas eselon I seringkali datang dari luar jenjang struktural (dipilih langsung oleh Presiden terpilih) yang barusan saya sebutkan, walaupun tentu saja, tidak tertutup kemungkinan eselon I untuk dipromosikan menjadi Menteri/Kepala LPNK. Inilah sebabnya mengapa jabatan Menteri/Kepala LPNK seringkali disebut sebagai jabatan politis di lingkungan kantor pemerintahan. Another fun fact: hingga saat ini, jabatan struktural umumnya masih diperoleh berdasarkan senioritas (dan faktor like/dislike). Kompetensi, sejauh yang saya amati selama enam tahun bekerja di pemerintahan, masih menjadi pertimbangan nomor sekian dalam jenjang karier pemerintahan. Tapi mari berbicara tentang hal ini di lain kesempatan). 

Anyway, Bapak A tadi menghampiri saya untuk meminta tolong menyelesaikan tugas sekolah bahasa Inggris anaknya (sebut saja B). Ini bukanlah kali pertama saya dimintai tolong oleh beliau - sebelumnya, beliau sudah pernah beberapa kali datang untuk meminta tolong saya mengkoreksi tugas bahasa Inggris yang telah dikerjakan sang anak. Biasanya, saya mengiyakan dengan senang hati, karena menurut saya, tidak ada salahnya meluangkan waktu lima menit berbagi ilmu dengan orang lain. Namun, permintaan si Bapak A minggu ini ternyata berbeda dari biasanya dan membuat saya mengangkat alis tinggi-tinggi. Alih-alih meminta tolong saya mengkoreksi pekerjaan sang anak, saya dimintai tolong membuat tugas sang anak dari nol (tugasnya sederhana saja: menerjemahkan tiga lembar lembar profil Walikota Bogor dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris). 

Waduh. 

(sumber: pokerstrategy.com)

Saya bukan orang yang banyak bicara di kantor, namun saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya langsung (dan dengan nada yang barangkali terdengar sedikit ketus, walaupun saya tidak bermaksud untuk bersikap ketus. Saya hanya sedikit terkejut): 

Saya: "Loh Pak, kok saya yang mengerjakan? Kalau saya yang mengerjakan ya yang dapat nilai saya, bukan anak Bapak." 
Bapak A: "Ya dibantu-lah, Dith. Supaya dapat nilai bagus." 

Alis saya terangkat semakin tinggi. Saya pun mulai tertawa, karena kalimat barusan terdengar amat konyol di telinga saya. 

Saya: "Bapak ini gimana sih. Kalau saya yang ngerjain, ya pasti bagus nilainya. Tapi si B kapan pintarnya? Bapak lebih milih B pintar atau nilainya bagus?" 

Bapak A tidak menjawab. Dan saya pun terus saja berbicara (karena kalau sudah buka suara, akan sulit bagi saya untuk berhenti berbicara) sambil sesekali tertawa geli. 

Saya: "Maaf Pak, kali ini saya tidak bisa membantu. Kalau mengkoreksi tugas yang dikerjakan B sih tidak masalah. Tapi kalau mengerjakan dari awal saya tidak bisa. Secara prinsip, saya tidak bisa membantu." 
Bapak A: "B sibuk, Dith. Pulang sekolah sore, masih bimbel. Sampai rumah sudah malam tapi tugas sekolah banyak. Padahal besok harus berangkat subuh"

Nada suara Bapak A yang sedikit mengiba tidak membuat saya berubah pikiran. Dengan tegas, saya tetap menolak untuk membantu dan cerita dengan Bapak A pun berakhir sampai di situ (atau begitulah yang saya kira. Beberapa hari kemudian, saya baru tahu kalau Bapak A ternyata pantang menyerah dan ganti meminta tolong teman kantor saya lain yang juga memiliki kemampuan berbahasa Inggris di atas rata-rata. Bedanya, teman saya ini tidak bisa/tidak enak (?) menolak permintaan tolong tersebut dan akhirnya membantu mengerjakan di luar jam kantor. Akhirnya, teman kantor saya pun habis digoda orang kantor karena telah bersedia mengerjakan tugas yang saya tolak mentah-mentah. Dapat lungsuran saya, katanya. Kasihan *pukpuk*) 

Saya pasti sudah melupakan kejadian pertama dengan si Bapak A ini, seandainya saja dua hari kemudian, saya tidak menemukan kejadian serupa yang menggelitik perhatian saya. Kejadian kedua ini terjadi di tengah minggu, ketika saya melihat teman kantor saya (sebut saja Mbak R) tengah berkutat dengan serius di depan komputer pada saat jam makan siang. Ketika saya dekati, ternyata Mbak R tengah mengerjakan tugas sekolah sang anak, kali ini di bidang ilmu pengetahuan alam. Dengan tekun, Mbak R merangkum berbagai perbedaan gejala alam, mulai dari gempa bumi, gunung meletus, dan lain sebagainya. Awalnya, saya mengira Mbak R sedang membuatkan bahan belajar sang anak (sebut saja E). Tapi, saya kembali dibuat mengangkat alis ketika Mbak R menggeleng. 

Mbak R: "Oh ini? Tugasnya si E. Besok dikumpulkan." - begitu jawab Mbak R, ringan. 
Saya: "Loh, kok bukan E yang mengerjakan? Kalau mamanya yang ngerjain, nanti yang pintar mamanya donk." 
Mbak R: "Nanti kan dia tetap belajar. Ini biar nilainya bagus saja." 

Waduh lagi. 

(sumber: here. Random fact: sumber asli .gif di atas saya temukan di halaman reddit yang ternyata diblokir. So yeah)

Kedua kejadian di atas kembali mengingatkan saya pada kecenderungan menggelisahkan yang saya lihat terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Saya memang belum pernah menjadi orangtua, namun saya banyak mengamati (dan seperti biasa, menjadi tempat curhat) oleh orang-orang di sekeliling tentang pendidikan anak-anak mereka dan dari berbagai cerita tersebut, entah mengapa, saya merasa bahwa ada yang salah besar dengan orientasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Saya merasa, sistem pendidikan terlalu menekankan pada pentingnya mendapatkan nilai bagus sebagai indikator utama keberhasilan siswa. Dengan alasan agar sistem pendidikan menjadi lebih kompetitif, penekanan terhadap nilai bagus sebagai hasil akhir tampaknya menjadi terlalu besar, sehingga proses untuk mendapatkan nilai tersebut pun cenderung terabaikan (lucunya, sistem pendidikan di Indonesia masih dianggap paling rendah, menurut artikel keluaran 2013 ini. Hampir dua tahun kemudian, saya tidak melihat banyak perubahan. Ironis). Padahal, seperti yang saya tanyakan kepada Bapak A, buat apa nilai bagus kalau sang anak justru tidak pintar? Atau lebih buruk lagi, buat apa nilai bagus kalau sang anak justru pintar mencari celah untuk mendapatkan nilai bagus tanpa harus belajar? 

Menariknya, tekanan untuk mendapat nilai bagus tampaknya tidak hanya membayangi anak-anak yang masuk duduk di bangku sekolah, namun juga para orangtua dan guru. Mulai dari semakin banyaknya orangtua yang menjejali anaknya dengan berbagai les atau kegiatan tambahan di luar sekolah (saya bukan ingin mengatakan bahwa kegiatan tambahan adalah hal yang buruk, namun beberapa orangtua tampaknya harus ingat bahwa anak pun punya batas. Terkadang,  mendengar cerita tentang deretan berbagai kegiatan tambahan yang dilakukan seorang anak di luar sekolah saja membuat saya capek! Kalau saya sebagai pendengar saja capek, apalagi yang menjalankan *pukpuk si adek*) hingga berbagai tindakan sampingan yang dilakukan orangtua untuk membantu untuk mendongkrak nilai anak seperti yang dilakukan Bapak A dan Mbak R di atas. Saya semakin yakin bahwa menempatkan nilai sebagai indikator utama keberhasilan pendidikan merupakan hal yang merugikan. Anak, orangtua dan guru seperti salesman yang dikejar target penjualan yang terus meningkat, dengan taruhan besar berupa masa depan yang sudah tidak dapat ditawar. Nilai jelek adalah vonis buruk yang ingin dihindari semua orang. Kalau sudah begitu, menjadi pintar tidak lagi menjadi tujuan utama. Buat apa mengejar pintar kalau yang diutamakan hanya mendapat nilai bagus? Pendidikan berubah menjadi tidak menyenangkan baik buat anak, orangtua, guru atau pelaku lain dalam dunia pendidikan sehingga pada akhirnya, membentuk sistem pendidikan yang rapuh. Masih maraknya berita tentang kebocoran soal UN tahun ini yang dilakukan oleh pelaku utama pendidikan dan berbagai cerita tragis tentang tekanan pendidikan yang terlalu besar hingga merenggut nyawa, tampaknya menunjukkan bahwa kekhawatiran saya masih benar adanya: bahwa sistem pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan menegangkan dan tidak membahagiakan.

Kasihan (sumber: lovethispic.com)

Saya tidak menulis ini untuk menghakimi atau menggurui Bapak A atau Mbak R atau orangtua lain yang barangkali melakukan hal sama untuk membantu nilai anak, karena toh, saya tidak yakin tidak akan melakukan hal yang sama apabila berada di posisi mereka. Dari berbagai cerita yang saya terima, saya bisa memahami betapa sulitnya untuk mempertahankan prinsip di tengah tekanan pendidikan yang gila-gilaan. Saya hanya ingin semua orangtua tetap bertanya pada diri mereka sendiri setiap saat setiap kali hendak mengambil keputusan terkait pendidikan anak: mengejar pintar atau mengejar nilai bagus? 

Karena lucunya, kedua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda. 


Oh well. (sumber: hellogiggles.com)

 Si Mbak. 

0 comments:

Post a Comment