Wednesday, August 6, 2014

A Little Life Update - August 2014


(Prelude: Gawd. My brain is an obvious mess. I can't think straight and currently I am forcing myself to write again.  I am forcing myself to concentrate and move my fingers and write something.  Anything)

So here I am.

You know, if someone decides to take a closer look at my life this past seven months (going eight, this month. Which reminds me that in the next 2 months, I will be officially 29 years old. Yikes), they might see absolutely nothing. This is the year of nothingness for me and I have accepted those fact with literally no hard feeling. However, the niggling feeling that I ought to do something -anything- about my so called life is still hanging above my head and I might have to do something about it sooner or later.

Maybe later (and I'm back to slapping myself again to commit to something. ANYFUCKINGTHING. Gosh)


Friday, July 11, 2014

Agree To Disagree Edition: Pakaian, Objektifikasi Perempuan dan Rape Culture

Salah seorang teman baik saya membuat postingan blog singkat nan menarik yang mengingatkan saya pada salah satu draft blog saya sendiri yang sudah lama tersimpan (you might not believe this, but I have a bulk of blog post drafts - most of them written as my way to procrastinate because I dont want to do my real jobs. Wait. Do I have a job? *snicker* Enough rambling!)

Inti dari postingannya sederhana saja: bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan jargon "Don't tell us how to dress but tell them not to rape" Awalnya, ketika saya membaca postingan ini, I was like: "Yeah! Totally agree!" (pada saat itu, sayangnya saya melewatkan kata "tidak 100%" yang ditulis di awal paragraf, yang baru terbaca setelah saya kembali membaca postingan ini untuk kedua kalinya. Kalau saya sudah membaca dari awal, mungkin saya tidak akan menyatakan setuju. Because well. I don't agree.). Namun saya langsung mengrenyitkan dahi di akhir postingan ketika ia menyebut bahwa (and I paraphrased here): "Ingin berpakaian dengan baik karena tidak ingin menjadi pemicu"

And my brain came to a screeching halt. 



Friday, June 20, 2014

A Guideline to Talking Nice

Nah kejadian lagi kan.

Let me start this blog post by saying this:

It's never OKAY to talk about someone's physical appearance without being asked for! God! 

ARGGGHHHH!! (source: Reluctant Femme)


Mau tahu kenapa? Alasan lengkapnya bisa dibaca di sini (or just simply scroll down. It's easier) but I'll give you a shorter version: BECAUSE SOMEONE MIGHT GET ANGRY.

Or in my case, write something about it in public space. Because I'm such a shameless attention seeker, like that.


Jadi begini ceritanya (yang baru saja terjadi dalam hitungan jam yang lalu):


Friday, May 16, 2014

Talk and Be Nice

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman baik dari luar kota yang kebetulan tengah singgah di Jakarta. Singkat kata, saya pun pergi untuk menghampiri dia di sebuah hotel untuk bertemu dan inilah kalimat pertama yang meluncur keluar dari mulut teman saya begitu melihat saya nongkrong cantik di hotel:

"Wah tambah gem... Eh, tambah subur Mak!" 

Haha. Saya sebenarnya sudah menduga munculnya komentar semacam ini bagi seseorang yang sudah lama tidak melihat saya (Look. It's my body. Of course, I am fully aware of its ever-increasing weights. I'm fat - not blind) Dan saya tidak marah, sungguh. Saya hanya mencatat komentar teman saya hari itu sebagai sesuatu yang menarik mengingat kejadian semacam ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Awal tahun ini misalnya, saya pernah ngambek dengan Bapak saya sendiri karena komentar panjang Beliau soal badan saya yang terlihat membengkak. Intinya adalah, teman atau Bapak saya bukanlah orang pertama yang, saya perhatikan, memberi komentar tentang penampilan fisik saya tanpa pikir panjang. Banyak sekali orang yang bersedia memberi komentar soal penampilan fisik orang lain tanpa diminta, baik itu soal berat badan, pakaian yang digunakan warna kulit dan lain sebagainya. 

Dan semua ini membuat saya bertanya: What makes people think it's OKAY to talk or comment about somebody else's physical appearance, without being asked to? Apa sebenarnya yang membuat seseorang berpikir bahwa boleh-boleh saja berkomentar soal penampilan fisik orang lain atau bertanya tentang masalah pribadi orang lain, tanpa diminta?


Monday, March 3, 2014

Perempuan Kadaluarsa





Ibarat barang, saya baru tahu kalau perempuan pun punya tanggal kadaluarsa.

Cerita saya ini berawal ketika hari Sabtu kemarin, saya sedang duduk-duduk santai tanpa alasan sendirian ditemani laptop, secangkir kopi yang sudah setengah habis dan seabrek blog drama Korea untuk dibaca. Saat itu tiba-tiba saja saya bertemu dengan seorang kolega kerja yang kebetulan sedang menunggu temannya di tempat yang sama. Singkat cerita, saya pun diajak beliau menemaninya makan sore-menjelang-malam di restoran pizza sebelah sembari menunggu teman yang ditunggunya muncul. Kami pun bicara ngalor-ngidul seperti biasa - mulai dari topik kantor saya yang ajaib nan misterius, merek skin-care asal Amerika yang mihil luar binasa namun sangat direkomendasikan oleh kolega saya kepada saya yang masih saja terus bermasalah dengan kulit berjerawat, sampai kemudian kami sampai pada topik tentang usia saya yang sudah hampir touch-down tiga puluh namun masih tetap saja melajang. Walaupun topik treakhir ini biasanya saya hindari mati-matian dengan cara apa pun, namun hari itu insting ingin tahu saya sedang hebat-hebatnya. Saya ingin tahu bagaimana perspektif kolega saya ini -yang kebetulan laki-laki berusia di atas 40 (berapa usia tepatnya, beliau tidak pernah mau memberitahu. Yang jelas sih dia masuk kuliah, saya baru lahir. Hahaha) dan belum menikah (although I kinda suspect he's in a relationship. Not a traditional one, but still. In a relationship)- tentang masa depan saya. Saya pikir, beliau akan mendukung rencana saya untuk mencari pekerjaan baru (Jailah. Masih ya Dith?) atau melanjutkan studi. Jawaban yang diberikan beliau cukup membuat saya kaget.

"Kawin Dith. Lo musti kawin. As soon as possible." ujarnya dengan serius.

And my response was (as always): "Kawin sama apa? Sama tembok?"