Hiya, abandoned blog. I'm back.
I'm back sooner than I thought, people (source : here) |
Kali ini saya akan
mencoba menulis postingan dalam Bahasa Indonesia dengan beberapa alasan.
Pertama karena memang sepertinya sudah lama saya tidak menulis apa pun dalam
bahasa Indonesia dan yang kedua, well, sepertinya untuk topik yang kali ini
jauh lebih menarik untuk dituliskan dalam bahasa Indonesia.
Kalau ada satu kata
yang belakangan ini sering digunakan oleh banyak orang di Indonesia, khususnya
perempuan, kata tersebut barangkali adalah Pelakor (kalau tidak salah sih
singkatan dari Perebut Laki Orang. Am I right?). Dari kepanjangannya sudah
cukup jelas bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan sosok perempuan
yang menjadi orang ketiga dalam hubungan atau rumah tangga orang lain. Tentu
saja, istilah pelakor mengandung konotasi negatif sebagai perusak rumah tangga
dan by association, pelakor banyak dihujat, dihindari bahkan diwaspadai.
Tapi jujur,
penggunaan istilah pelakor membuat saya terusik dan tidak nyaman. Bukan, bukan
karena saya adalah salah satu pelakor yang harus dihujat dan diwaspadai (News
flash : saya tidak punya hubungan romantis dengan siapa pun saat ini. So I'm
not being defensive here), tapi lebih karena asosiasi emosional dan narasi yang
muncul ketika istilah pelakor ini digunakan. Nah, asosiasi dan narasi inilah yang
membuat saya merasa amat sangat tidak nyaman.
Maksudnya bagaimana?
(source : here) |
Jadi begini. Ada
banyak sekali teori dalam dunia psikologi yang bisa digunakan untuk menjelaskan
psycholinguistic dan word association atau asosiasi kata. Tapi untuk membuat
hidup saya dan siapa pun yang membaca tulisan ini (which probably none) menjadi lebih mudah, mari
menerima pemahaman yang sederhana bahwa kata apa pun yang digunakan di dunia
ini memiliki asosiasi tertentu dalam pikiran seseorang yang memahami kata
tersebut. Contoh ketika seseorang menyebutkan kata Rinso, maka asosiasi pertama
yang umumnya akan muncul dalam pikiran kita adalah deterjen. Atau ketika seseorang
menyebutkan kata Honda, maka asosiasi pertama yang muncul dalam pikiran kita
adalah sepeda motor. Dan begitu seterusnya.
Sama halnya dengan Istilah pelakor yang kini ramai digunakan. Ketika kita menyebutkan kata ini, asosiasi pertama yang barangkali
muncul di kepala adalah perempuan, diikuti barangkali dengan kata jahat atau
tidak bisa diampuni - asosiasi yang barangkali memang benar adanya. Tapi justru
inilah yang membuat saya tidak nyaman. Kenapa? Karena, kalau mau jujur, kejahatan yang dilakukan oleh seorang
"pelakor" bukanlah kesalahan yang hanya jatuh di pundak si pelaku
perempuan. Kesalahan yang sama juga jatuh di pundak pelaku laki-laki.
Tapi
kenapa, KENAPA ASOSIASI NEGATIF YANG SAMA TIDAK DITEMPELKAN PADA LAKI-LAKI?
Penggunaan istilah pelakor seolah-olah menempatkan sebagian besar kesalahan di
pundak pelaku perempuan dan mengecilkan kontribusi pelaku laki-laki dalam
kejahatan yang sama.
Which, for me, is WEIRD AS FUCK.
What the fuck is this sorcery? (source : here) |
Salah seorang teman
saya kemudian berkata: "Menurut gue sih Dith, kenapa perempuan banyak
menyalahkan perempuan lain dalam hal ini adalah karena sebagai perempuan,
mereka seharusnya lebih memiliki empati terhadap sesama perempuan. Sama kayak
kenapa PNS lebih banyak disalahkan kalau nilep uang atau kenapa kalau aparat
berantem sama orang sipil, pasti aparat yang lebih banyak dihujat"
Hm. Masuk akal.
But, here's what I
think : Ketika PNS atau aparat melakukan kesalahan dan menerima hujatan atau
serangan dari masyarakat umum, hal tersebut sebagian besar terjadi karena
pegawai atau aparat negara memiliki kewajiban secara LEGAL (dan tersumpah di
hadapan Tuhan) untuk menunaikan tanggung jawab tertentu yang LEBIH dari
masyarakat sipil, termasuk di antaranya menjaga ketertiban umum dan menjaga
integrasi institusi, bangsa dan negara (I know this for sure because I'm a civil servant and they made me
swear for it). Tapi apakah logika yang sama bisa diterapkan dalam kasus perselingkuhan?
Apakah perempuan memiliki kewajiban untuk menjaga perasaan
perempuan orang lain? Bisa jadi. Tapi pertanyaan saya berikutnya adalah : apakah laki-laki tidak memiliki kewajiban
yang sama untuk menjaga diri sebagai bagian dari komitmen
hubungan yang dijalani bersama pacar atau istri? Apakah kewajiban dan tanggung jawab
laki-laki tersebut sebagai pasangan LEBIH KECIL dari kewajiban perempuan untuk
menjaga perasaan perempuan lain, sehingga wajar kalau perempuan lebih disalahkan ketimbang laki-laki? Can somebody answer this for me?
Seriously, though. Can somebody really, really answer this for me?
What is going on here really? (source : here) |
Asosiasi yang berat
sebelah inilah yang membuat saya merasa tidak nyaman mendengar ramainya
penggunaan istilah pelakor. Kenapa? Karena semakin sering istilah ini
digunakan, semakin kuat asosiasi bahwa kesalahan perselingkuhan sepenuhnya
melekat pada diri perempuan dan buat saya pribadi, ini tidak adil. Sama tidak
adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa perselingkuhan terjadi karena istri
tidak bisa melayani suami di rumah. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang
berkata bahwa perselingkuhan terjadi karena istri tidak bisa memberikan apa
yang dibutuhkan suami. Sama tidak adilnya ketika ada orang yang berkata bahwa
perselingkuhan terjadi karena laki-laki tidak bisa menahan godaan atau
kenyamanan yang diberikan perempuan lain di luar rumah. Sama tidak adilnya
ketika ada orang yang berkata bahwa laki-laki hanya laki-laki biasa - tidak bisa
mengatur urusan yang terjadi di bawah perut.
Do you see the point I'm
trying to make here?
Intinya, semua salah
perempuan. Baik istri maupun pelakor. Why blame men when you can blame women?
And I hate this kind
of narratives, logic, association or whatever.
I hate this (source : here) |
Make no mistake
though : saya tidak membela pelakor karena what these women do are ABSOLUTELY WRONG. Tapi
penggunaan istilah pelakor dan asosiasi emosional yang muncul dari istilah
tersebut memunculkan sebuah narasi yang, buat saya, salah besar. Sebuah narasi
yang menggambarkan pelakor sebagai nenek sihir bertanduk yang menggunakan
seluruh pesona kecantikannya untuk menggoda laki-laki yang tidak berdaya.
Sebuah narasi yang memindahkan kesalahan perselingkuhan dari sang bawang putih
yang tidak bisa apa-apa di rumah, ke tangan sang bawang merah yang penuh tipu
daya. Sebuah narasi yang menggambarkan laki-laki sebagai makhluk yang tidak
bersalah dalam skenario perselingkuhan karena bawang putih tidak memuaskan,
sementara bawang merah terlalu menggoda. Sebuah narasi dimana, apa pun
alasannya, pihak yang bersalah tetap perempuan baik itu istri maupun pelakor - sementara laki-laki bisa melenggang kakung dengan leluasa tanpa beban. It's the worst narratives ever.
Fuck that
narratives.
Fuck that and all the unfairness in the world (source : here) |
AND DON'T GET ME STARTED WITH ROMANTIC RELATIONSHIP WITH UNDER-AGES.
((THAT WOULD BE ANOTHER ANGRY BLOG POST))
Si Mbak
(who, in the future,
refuses to use the word pelakor. Ever)
(because really, I hate bad narratives)
0 comments:
Post a Comment