Thursday, June 24, 2010

Two Weeks In Sydney

What can I say about this new town I'm about to live in for the next 1.5 years?

Pertama, mungkin karena baru dua minggu, saya masih berasa belum akrab dengan lingkungan sekitar. Masih berasa gugup ketika berbicara dengan bahasa Inggris (bahasa yang saya pikir sudah saya kuasai sedikit tapi ternyata masih membuat lidah pegal setelah berbicara seharian), masih berasa seperti orang bodoh kalau apa yang ingin disampaikan ternyata tidak benar-benar tersalurkan dan seperti biasa, masih saja celingak-celinguk seperti anak hilang (well ini bukan karena masalah baru menetap dua minggu. Di jakarta hampir tiga tahun juga masih sering celingak-celinguk kayak anak hilang)

At the first glance, Sydney didn't look so much different compared to Jakarta. Ruame buangetttt... Yang namanya jalan nyaris nggak pernah sepi kecuali dini hari dan tengah malam buta. Macet juga ada terutama menjelang malam hari (tapi jangan dibandingin sama Jakarta yang macetnya bisa bikin siapa pun orang yang terjebak di dalamnya ingin bunuh diri. Paling banter macet di sini cuma terhenti sekitar 15-20 menit) dan berhubung saya menetap di King Street, salah satu jalan teramai dan terkenal di Sydney, yang namanya riuh rendah kesibukan manusia selalu terdengar bahkan di tengah malam sekalipun. Walhasil hidup di Sydney tidak pernah terasa sepi. Hasrat belanja terpenuhi dengan maksimal (berlebihan malah) dengan tempat-tempat seperti Broadway shopping square sampai Paddy's Market (baru tau itu. Maklum baru dua minggu), hasrat untuk melihat remarkable view pun juga terpuaskan dengan pergi ke tempat macam Circular Quay (Opera House), Daring Harbour dan Royal Botannical Garden (again baru tau itu. Maklum baru dua minggu). Sebenarnya pengeennnn banget menjelajahi Sydney kayak orang gila tapi berhubung tiket bis masih mahal pisan *belum dapat concession alias potongan harga yang biasanya akan kita dapatkan setelah enroll di universitas* jadi hasrat jalan-jalan itu lantas diurungkan.

Yang menarik dari pengamatan saya justru orang-orang lokal di sini. Sebelumnya dari berbagai rubrik di internet yang saya baca tentang Sydney, ada yang menyebut kalau orang di Sydney terbilang cuek dibandingkan orang-orang di kota lain di Australia. Namun dua minggu terakhir ini menunjukkan kenyataan yang berbanding terbalik dengan cerita yang saya dengar sebelumnya. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, berkali-kali penduduk lokal Sydney dengan baik hati membantu saya (dan teman-teman saya) yang sedang tersesat menemukan jalan yang benar. Sekali, bahkan tanpa kita tanyai pun, ketika melihat kita sedang berkutat dengan peta seorang pria Aussie berhenti dan memberitahukan jalan yang sedang kita cari.

This little simple thing really put a smile in our face that day.

Eniwei masih buanyaaaaakkkk sekali hal yang ingin saya lakukan selama berada di sini. Ingin nongkrong seharian di taman sambil piknik dan tiduran santai, ingin berjalan-jalan melihat tempat yang belum pernah dikunjungin sebelumnya, ingin menjelajah ke tempat lain di Australia dan pengen kerja. Hahahahaa...

But I do have one little worry here.

I haven't started writing at all.

Sunday, May 9, 2010

Nyaman Dengan Diri Sendiri

Berapa kali dalam hidup kita mengatakan hal seperti ini?
" Ih pengen nurunin berat badan deh"
" Ih coba agak putihan dikit "
" Ih coba nggak jerawatan ya... "

Oke, ketahuan. Itu barusan saya curhat.

Tapi serius. Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan pencerahan tentang masalah besar dari satu hal yang begitu kecil dan sepele. Saya belajar merasa nyaman dengan diri saya dari high heels saya.

Saya jarang sekali mengenakan sepatu hak tinggi untuk beberapa alasan. Alasan pertama tentu saja adalah masalah kepraktisan. Meskipun menarik untuk dilihat dan bisa memberi efek menggoda pada bagian pantat saya yang selalu membutuhkan bantuan visual (baca: tepos), sepatu hak tinggi sangatlah tidak praktis digunakan bagi saya yang notabene adalah seorang pejalan kaki dan pengguna transportasi umum. Bayangkan berjalan kaki selama lima belas menit dari kostan ke halte busway dan berdiri selama kurang lebih setengah jam di dalam busway sambil berdesakan dengan menggunakan sepatu hak tinggi. Beauty is pain, people. And high heels is definitely the best killer weapon.

Alasan kedua tentang mengapa saya jarang menggunakan sepatu hak tinggi adalah karena saya merasa tidak nyaman menambah tinggi pada badan saya yang sudah tergolong tinggi untuk perempuan Indonesia. Sejak dulu selalu saja ada yang berkomentar seperti ini "Ya ampun kamu kok tinggi banget sih?! " atau " Jangan tinggi-tinggi kenapa " dan berbagai jenis komentar lain yang barangkali dimaksudkan sebagai canda atau bahkan pujian namun hati saya yang rapuh dan terlalu sensitif ini mengartikan lain. Berkali-kali saya berharap dalam hati seandainya saja saya punya tinggi badan yang 'standar' perempuan Indonesia karena di dalam kepala saya yang kecil ini, teman-teman saya malu punya teman tinggi seperti saya. Pubertas memperparah semuanya. Komentar semacam ini bukan komentar yang asing bagi saya "Susah ya dith cari cowok yang tingginya melebihi kamu" atau "Aku ga pede jalan sama kamu karena kamu tinggi" (you can guess. Yang ngomong cowok. Dan bukan cuma satu orang yang ngomong begini)

Sederhana dan terdengar sepele kan? Tapi satu hal kecil ini adalah salah satu contoh ketidaknyamanan saya terhadap diri saya sendiri. Sampai beberapa hari lalu ketika akhirnya saya memutuskan untuk memakai sepatu hak tinggi saya ke kantor dengan berjalan lima belas menit dari kostan ke halte dan berdiri setengah jam di dalam busway. Terlepas dari hasil akhir kaki saya yang terasa retak-retak dan kenyataan bahwa pada akhirnya bagian tumit kaki saya berhias plester kuning menyala dengan gambar kartun anak-anak, saya merasa luar biasa puas dan senang karena saya terlihat cantik dengan sepatu tersebut. Saya bertambah tinggi kurang lebih 5-7 senti dan saya merasa puas! Hehe... Dalam hati, dengan sombong saya menyamakan diri saya dengan model *kepedean*

Anyway seorang teman tiba-tiba mengatakan ini: " Kamu itu udah tinggi, ngapain ditambahin tinggi lagi? Nanti cowok-cowok makin lari " (teman saya ini sepertinya sangat khawatir sekali tentang kenyataan saya yang masih menjomblo. Karena selain sepatu hak tinggi, dia juga pernah mengatakan kepada saya untuk tidak bersekolah tinggi-tinggi. Katanya karena cowok cenderung minder dengan perempuan yang berpendidikan tinggi --> hm)
Dan apa jawab saya? " Bukan urusan gue kalo mereka ga punya rasa percaya diri "

ahay! Saya suka diri saya yang memakai sepatu hak tinggi.

Intinya sih sebenarnya sederhana. Kekurangan adalah sesuatu yang tidak terlepaskan dari diri manusia. Tapi bukankah suatu kekurangan hanya akan menjadi kekurangan kalau kita menganggapnya seperti itu? Siapa tahu kalau kita mencoba menjungkirkan cara pandang kita, kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang lupa kita hargai. Semua tergantung pilihan.

*sok bijaksana*

Bahasa dan Pilihan Hidup

Satu hal yang belakangan ini seringkali terucap dalam hati saya sebagai keinginan adalah harapan untuk kembali duduk di bangku SMA namun dengan wawasan dan otak yang saya miliki sekarang.

Tidak perlu susah-susah mengatakan "mimpi!!" karena saya tahu keinginan di atas tidak akan pernah terkabul kecuali bulan depan tiba-tiba ada ilmuwan jenius yang menciptakan mesin waktu. Namun yang ingin saya bicarakan di sini bukanlah soal kemungkinan terciptanya mesin waktu dalam beberapa waktu ke depan tapi betapa sesungguhnya manusia memiliki sejuta pilihan untuk masa depan.

Saya masih ingat ketika SMA dulu, sekolah memberikan sebuah daftar isian dimana saya diminta mengisi pilihan jurusan yang saya minati ketika kelas 3 nanti. Tentu saja saya mengisi IPA sebagai pilihan pertama dalam daftar tersebut. Pilihan tersebut saya ambil berdasarkan logika saja. Jujur saya ingin menulis BAHASA tapi jalan yang berada di depan jurusan IPA terlihat lebih gemerlap. Lagipula apa yang akan dikatakan orangtua saya? Benar saja ketika ketika saya berkeinginan melakukan kompromi dan menulis BAHASA di pilihan ketiga, ayah saya mengatakan ini kepada saya : "Tulis. Pilihan pertama, kedua, ketiga IPA"

Friday, March 26, 2010

Untuk "Anda"

Saya sebenarnya sudah lama ingin bertanya ini kepada "Anda"

Kenapa sih Anda selalu bersikap sentimen kepada saya, seolah-olah saya adalah musuh Anda?
Semua hal yang saya lakukan Anda komentari dengan semena-mena
Mending kalau komentar yang Anda berikan membangun.
Komentar yang Anda berikan selalu membuat saya ingin membanting meja dan kursi di tempat.
Herannya Anda merasa bangga dan tidak merasa menyakiti orang lain

Kenapa sih Anda selalu menunjuk tetapi tidak pernah melihat kepada diri sendiri?
Anda memberitahu saya untuk menjadi bagian dari keluarga Anda tapi setiap kali saya -yang ngomong2 seperti landak yang penakut ini- mencoba mendekat, Anda malah menyepak saya dengan keras dari depan.
Jangan bertanya kenapa saya tidak suka Anda.
Jangan salahkan salah saya kalau kemudian saya membenci Anda.
Jangan heran kalau saya ingin terus melarikan diri dari Anda.

Kalau saja Anda berada di posisi yang sama dengan saya, saya tidak akan segan-segan bicara.
Sayangnya tidak dan sekali lagi saya ini orang yang penakut
Saya mudah sakit hati dan gampang menangis.
Nafas saya sesak setiap merasa tertekan (yang berarti setiap kali melihat Anda) dan saya tidak melebih-lebihkan.

Tapi Anda tidak tahu kan?
Anda tidak sepintar yang anda pikirkan.

Adalah sia-sia mengharapkan Anda memperhatikan perasaan orang lain.
Karena perasaan orang lain apalagi perasaan saya tidak lebih berarti dari tai di pinggir jalan yang bisa diacuhkan karena bau dan tidak bermakna.

Jadi saya akan mencoba mengacuhkan Anda saja.
Dan berdoa semoga anak perempuan Anda disakiti orang lain seperti Anda menyakiti saya (doa terburuk yang pernah saya panjatkan)


Oh ngomong-ngomong, iya saya marah.

Tuesday, March 16, 2010

This Dream I've Been Having

For the last two days I had this weird dream which, strangely enough, was all lucid for me to remember even after waking up for hours *well I still remember it now*

How it was weird?

Weird thing number one : In this dream I became a guy. At first I didn't realize it was me, but after the second dream I noticed that this guy in my dream always mentioned himself as me and the way I looked at the entire surroundings in my dream was through this guy's point of view so I think it was safe to actually make an assumption that this one particular guy that has been hanging around in my dream was indeed myself.

Weird thing number two: I was suppressed by a girl which happened to be my lover. It seems that I tried very hard to get rid of her but nothing worked. I tried to get away several times but this girl always stopped me in my way and that made me miserable.

Weird thing number three: In the middle of my escape where (again) she found me and made come back home again, I happened to see a group of buffalos fighting in the middle of the street. Yes people, you read that part right. Buffalo. Right after this rather frightening sight of buffalo fight occured, I woke up silently like nothing happened.

Being someone who majored in psychology, the first thing that crossed my mind after waking up was this: What the hell does that mean? I read Freudian theory so much to conclude that maybe - MAYBE - something was wrong in my state of mind to actually have that kind of dream I just had. So I decided to look it up in the internet to find some dream interpretation and by interpretation, I mean psychological based. A lot of result that came up from my "mimpi" search by Google turned out to be superstitious-based (very Indonesian, I must say) and although it is appealing for me to also find out the meaning of my dream from the so-called supernatural context (I am a true Indonesian, afterall) I need to discover my dream true meaning in psychological context. So I found this one interesting web on the internet that would gave you a lot of insight about your dream (want to check it out yourself? click www.dreammoods.com) and by using the Dream Dictionary in this site, I manage to compile some of (supposedly) meaning of weird dream, which are...

1. To dream that you are the opposite sex, suggests that you exhibit or need to incorporate those qualities of the opposite sex. Ask yourself, how do you feel being a man or a woman? In what ways can you incorporate those feelings into your waking life.

2. To dream that you are in a fight, indicates inner turmoil. Some aspect of yourself is in conflict with another aspect of yourself. Perhaps an unresolved or unacknowledged part is fighting for its right to be heard. It may also parallel a fight or struggle that you are going through in your waking life.

3.
To see a buffalo in your dream, symbolizes survival. The dream may warn that you are go off your life path.

Well so in conclusion I think what my weird dream really signifies is this : I have the need to include some of man's characterictics (being persistent maybe? Are men persistent? Bravery, yes. Maybe bravery) to conquer this fight of life I feel approaching (and by fight of life, I mean battle inside myself) considering that right now I am completely off track! I totally forget my promise to work on hard.

So um.. that's it?

PS : forgive my poor English. I wrote it this way to practice writing in English again, the ability that I believe has disappeared for watching too many Korean movies lately :p