Suatu hari, ketika saya sedang iseng menyempatkan diri berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Utara karena sedang suntuk (which, unfortunately, happens a lot lately), saya melihat sepasang sepatu yang menarik perhatian saya. Saat itu, saya memang berniat mencari sepatu baru yang nyaman untuk dipakai berjalan kaki jauh menyusuri rute kostan baru-kantor yang cukup panjang. Sebagai gambaran sederhana, setiap harinya, saya menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit untuk berjalan kaki dari kost menuju halte Transjakarta terdekat, lima menit untuk berjalan kaki dalam halte transit Transjakarta yang panjangnya bukan kepalang seperti ular naga dan lima menit lagi untuk berjalan kaki dari halte Transjakarta menuju kantor (Dan jangan lupa waktu yang harus saya habiskan sambil BERDIRI MENUNGGU/TERGENCET DALAM BIS. HOLY MOTHER OF EVERYTHING THAT IS HOLY. Oh, dan ini baru perjalanan berangkat kantor saja. Belum lagi waktu yang saya habiskan ketika pulang di sore hari, haha. Kenapa tidak mencari kostan yang lebih dekat? Karena saya gemar menyiksa diri).
Singkat cerita, rute baru yang berjarak dua kali lipat lebih jauh inilah yang mendorong saya untuk berburu sepatu baru (walaupun, kalau mau jujur, saya sudah punya banyak sekali sepatu yang masih bagus dan relatif baru). Namun lucunya, sepasang sepatu yang akhirnya menarik perhatian saya di hari itu bukanlah jenis sepatu yang awalnya saya cari. Sepatu tersebut bukanlah sepatu santai dengan bantalan dasar empuk sesuai kontur kaki untuk mengurangi penderitaan kedua kaki, sebagaimana bayangan saya semula. Sepatu yang merebut semua konsentrasi saya hari itu adalah sepasang sepatu flat cantik dengan bahan gemerlap kerlap-kerlip seperti lampu panggung.
I love sparkly shoes!!
Singkat cerita, rute baru yang berjarak dua kali lipat lebih jauh inilah yang mendorong saya untuk berburu sepatu baru (walaupun, kalau mau jujur, saya sudah punya banyak sekali sepatu yang masih bagus dan relatif baru). Namun lucunya, sepasang sepatu yang akhirnya menarik perhatian saya di hari itu bukanlah jenis sepatu yang awalnya saya cari. Sepatu tersebut bukanlah sepatu santai dengan bantalan dasar empuk sesuai kontur kaki untuk mengurangi penderitaan kedua kaki, sebagaimana bayangan saya semula. Sepatu yang merebut semua konsentrasi saya hari itu adalah sepasang sepatu flat cantik dengan bahan gemerlap kerlap-kerlip seperti lampu panggung.
I love sparkly shoes!!
Yang membuat saya semakin tertarik untuk membeli sepatu tersebut adalah fakta bahwa sepatu tersebut diletakkan dalam rak yang diberi tanda "50%". Oh yeah. Di mata saya, tanda tersebut tidak lagi terlihat seperti papan kecil berwarna merah menyala biasa dengan angka 5, 0 dan % tercetak di atasnya. Tanda tersebut terlihat hidup seperti tokoh kartun yang biasanya ada di iklan televisi, dengan kaki merah mungilnya yang melompat-lompat riang di tempat dan tangan merahnya yang melambai-lambai heboh, memanggil saya tanpa henti untuk segera datang mendekat.
Dan siapa saya untuk mengabaikan panggilan Yang Mulia Tanda Diskon Lima Puluh Persen, bukan begitu?
Lalu saya pun masuk ke dalam toko untuk bertanya tentang ukuran sepatu nan cantik tersebut pada mbak penjaga toko yang sudah siap sedia menanti saya di dalam. Sepatu tersebut ternyata hanya tinggal satu pasang saja, dan pasangan sepatu yang tersedia ternyata sesuai dengan ukuran kaki yang saya inginkan (40). Yahuuu! Tanpa ragu-ragu, saya pun langsung mencoba sepatu cantik tersebut di kaki saya dan menghabiskan waktu sekitar setengah menit berputar-putar menjajal sepatu di dalam toko, mengagumi kilauan cantik yang muncul setiap kali sepatu tersebut tertimpa cahaya lampu toko yang berwarna kuning keemasan. Rasanya seperti memakai sepatu yang terbuat dari ribuan koin. Lucu.
Namun ada satu hal kecil yang mengganjal di hati saya. Meskipun saat itu saya memakai ukuran sepatu yang memang biasanya saya kenakan, sepatu tersebut terasa betul-betul pas, tanpa sisa sedikit ruang pun di bagian depan. Dalam kondisi biasa, saya mungkin akan berpikir dua kali karena saya memang terbiasa membeli sepatu dengan ukuran yang lebih besar dari panjang kaki saya yang sebenarnya. Alasannya? Saya punya telunjuk kaki yang jauh lebih panjang dari jempol. Jadi, kalaupun saya menemukan sepatu berukuran 39 yang sesuai dengan panjang kaki, saya biasanya akan membeli ukuran 40. Dan apabila sepatu yang sesuai dengan panjang kaki saya berukuran 40, saya biasanya tetap akan mencari ukuran 41 agar telunjuk kaki saya tidak tertekuk saat memakai sepatu. Itulah sebabnya mengapa sepatu saya rata-rata longgar di bagian belakang. Tapi hari itu saya mengabaikan kekhawatiran tersebut. Saya pikir, sepatu ini terlalu cantik untuk saya tinggalkan di dalam toko sendirian. Tidak hanya itu. Sepatu cantik tersebut tengah diskon hingga separuh harga dan satu-satunya ukuran yang tersedia adalah ukuran yang sesuai dengan panjang kaki saya! Apa coba namanya ini kalau bukan takdir? Jadi, tanpa pikir panjang, saya pun membeli sepatu cantik tersebut, membawanya pulang dengan hati senang dan membuat rencana untuk memakainya ke kantor keesokan hari.
Pagi pun datang. Saya bergegas menuju kantor dengan mengenakan sepatu cantik tersebut. Tentu saja, saya tidak lupa membawa plester dalam tas - salah satu perlengkapan wajib yang harus saya bawa setiap kali mencoba sepatu baru karena kulit saya tergolong sensitif dan gampang lecet. Tapi tentu saja, saya berharap perjalanan saya pagi itu dengan sepatu cantik nan anyar ini akan baik-baik saja.
Lalu saya pun masuk ke dalam toko untuk bertanya tentang ukuran sepatu nan cantik tersebut pada mbak penjaga toko yang sudah siap sedia menanti saya di dalam. Sepatu tersebut ternyata hanya tinggal satu pasang saja, dan pasangan sepatu yang tersedia ternyata sesuai dengan ukuran kaki yang saya inginkan (40). Yahuuu! Tanpa ragu-ragu, saya pun langsung mencoba sepatu cantik tersebut di kaki saya dan menghabiskan waktu sekitar setengah menit berputar-putar menjajal sepatu di dalam toko, mengagumi kilauan cantik yang muncul setiap kali sepatu tersebut tertimpa cahaya lampu toko yang berwarna kuning keemasan. Rasanya seperti memakai sepatu yang terbuat dari ribuan koin. Lucu.
Namun ada satu hal kecil yang mengganjal di hati saya. Meskipun saat itu saya memakai ukuran sepatu yang memang biasanya saya kenakan, sepatu tersebut terasa betul-betul pas, tanpa sisa sedikit ruang pun di bagian depan. Dalam kondisi biasa, saya mungkin akan berpikir dua kali karena saya memang terbiasa membeli sepatu dengan ukuran yang lebih besar dari panjang kaki saya yang sebenarnya. Alasannya? Saya punya telunjuk kaki yang jauh lebih panjang dari jempol. Jadi, kalaupun saya menemukan sepatu berukuran 39 yang sesuai dengan panjang kaki, saya biasanya akan membeli ukuran 40. Dan apabila sepatu yang sesuai dengan panjang kaki saya berukuran 40, saya biasanya tetap akan mencari ukuran 41 agar telunjuk kaki saya tidak tertekuk saat memakai sepatu. Itulah sebabnya mengapa sepatu saya rata-rata longgar di bagian belakang. Tapi hari itu saya mengabaikan kekhawatiran tersebut. Saya pikir, sepatu ini terlalu cantik untuk saya tinggalkan di dalam toko sendirian. Tidak hanya itu. Sepatu cantik tersebut tengah diskon hingga separuh harga dan satu-satunya ukuran yang tersedia adalah ukuran yang sesuai dengan panjang kaki saya! Apa coba namanya ini kalau bukan takdir? Jadi, tanpa pikir panjang, saya pun membeli sepatu cantik tersebut, membawanya pulang dengan hati senang dan membuat rencana untuk memakainya ke kantor keesokan hari.
Pagi pun datang. Saya bergegas menuju kantor dengan mengenakan sepatu cantik tersebut. Tentu saja, saya tidak lupa membawa plester dalam tas - salah satu perlengkapan wajib yang harus saya bawa setiap kali mencoba sepatu baru karena kulit saya tergolong sensitif dan gampang lecet. Tapi tentu saja, saya berharap perjalanan saya pagi itu dengan sepatu cantik nan anyar ini akan baik-baik saja.
Lima menit pertama, tidak ada masalah. Namun di tengah perjalanan, saya merasa ada yang aneh. Saya merasa kaki saya sedikit membesar (yang, setelah saya cari tahu melalui internet, adalah hal yang memang terjadi pada semua orang. Ukuran kaki umumnya membesar/memuai pada saat pagi hingga sore hari karena aktivitas yang dijalankan. Itulah sebabnya mengapa orang disarankan untuk membeli sepatu pada waktu siang/sore hari dan tidak pada saat pagi/malam hari). Kaki saya mulai terasa seperti kentang yang dipaksa masuk ke dalam tabung besi berukuran kecil. Yang membuat saya semakin gelisah saat berjalan adalah fakta bahwa telunjuk kaki saya mulai tertekuk ke dalam (karena kaki saya memuai, sepatu yang semula pas di kaki kini mulai terasa lebih kecil). Pernah mencoba berjalan jauh dengan satu jari tertekuk? NOT FUN.
Sepuluh menit berlalu atau tiga perempat perjalanan, kondisi semakin memburuk. Saya bisa merasakan bagian belakang kaki saya mulai terasa panas (karena kulit kaki yang terus bergesekan dengan bahan sepatu yang keras), namun saya baru bisa membongkar tas dan mencari plester begitu saya masuk ke dalam halte. Dan betul saja, sesampainya di halte bis, kulit di bagian belakang kaki saya sudah terkelupas banyak dan terasa luar biasa perih. Saya terpaksa memasang dua buah plester untuk masing-masing kaki untuk membantu mengurangi gesekan antara kulit kaki dan bahan sepatu, namun rasa perih tetap saja terasa ketika saya berjalan atau berdiri. Belum lagi telunjuk kaki saya yang terasa pegal dan nyaris patah karena terus menerus berada dalam posisi tertekuk seperti cacing yang dipasang pada kail pancingan. Rasanya ingin sekali saya langsung berlari ke toko sepatu yang saya datangi kemarin, melempar sepatu cantik namun menyiksa tersebut kembali pada si mbak penjaga toko, meminta uang saya kembali dan mematahkan tanda diskon terkutuk yang telah membuat saya terjebak dalam penderitaan pagi itu. Berani-beraninya dia menggoda saya!
Namun pada saat saya memasang plester untuk meringankan derita kaki saya pagi itu, tiba-tiba saja sebuah idiom terlintas begitu saja di kepala saya.
Sepuluh menit berlalu atau tiga perempat perjalanan, kondisi semakin memburuk. Saya bisa merasakan bagian belakang kaki saya mulai terasa panas (karena kulit kaki yang terus bergesekan dengan bahan sepatu yang keras), namun saya baru bisa membongkar tas dan mencari plester begitu saya masuk ke dalam halte. Dan betul saja, sesampainya di halte bis, kulit di bagian belakang kaki saya sudah terkelupas banyak dan terasa luar biasa perih. Saya terpaksa memasang dua buah plester untuk masing-masing kaki untuk membantu mengurangi gesekan antara kulit kaki dan bahan sepatu, namun rasa perih tetap saja terasa ketika saya berjalan atau berdiri. Belum lagi telunjuk kaki saya yang terasa pegal dan nyaris patah karena terus menerus berada dalam posisi tertekuk seperti cacing yang dipasang pada kail pancingan. Rasanya ingin sekali saya langsung berlari ke toko sepatu yang saya datangi kemarin, melempar sepatu cantik namun menyiksa tersebut kembali pada si mbak penjaga toko, meminta uang saya kembali dan mematahkan tanda diskon terkutuk yang telah membuat saya terjebak dalam penderitaan pagi itu. Berani-beraninya dia menggoda saya!
Namun pada saat saya memasang plester untuk meringankan derita kaki saya pagi itu, tiba-tiba saja sebuah idiom terlintas begitu saja di kepala saya.
Walk a mile in someone else's shoes.
Coba saja berjalan dengan sepatu orang lain.
Dalam hidup, barangkali sudah tidak terhitung lagi berapa kali seseorang merasa iri dengan kehidupan yang dimiliki orang lain. Saya pun begitu. Di mata saya, orang lain terlihat lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar, lebih sukses, lebih gemerlap. Kehidupan semua orang, dibandingkan kehidupan yang saya miliki, tampak jauh lebih sempurna dan tanpa cela. Namun mungkin saya melihat kehidupan orang lain tersebut dengan memakai 'kacamata' yang sama seperti ketika saya melihat sepatu baru ini. Saya hanya melihat hal-hal yang tampak menggoda di permukaan saja: cantik dan berkilauan di bawah cahaya lampu toko.
Coba saja berjalan dengan sepatu orang lain.
Dalam hidup, barangkali sudah tidak terhitung lagi berapa kali seseorang merasa iri dengan kehidupan yang dimiliki orang lain. Saya pun begitu. Di mata saya, orang lain terlihat lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar, lebih sukses, lebih gemerlap. Kehidupan semua orang, dibandingkan kehidupan yang saya miliki, tampak jauh lebih sempurna dan tanpa cela. Namun mungkin saya melihat kehidupan orang lain tersebut dengan memakai 'kacamata' yang sama seperti ketika saya melihat sepatu baru ini. Saya hanya melihat hal-hal yang tampak menggoda di permukaan saja: cantik dan berkilauan di bawah cahaya lampu toko.
Namun sepatu baru saya menunjukkan realita yang berbeda ketika dipakai berjalan jauh di bawah matahari. Sakit, sempit dan membuat kaki saya menderita. Saya bersedia melakukan apa saja untuk menukar sepatu cantik yang sedang saya pakai dengan sandal jepit yang dipakai abang-abang tukang di halte bis yang sama.
And that's the thing about other people life, isn't it?
Kehidupan mereka bisa saja tampak sempurna dari jauh, tapi siapa yang tahu tentang kenyataan sebenarnya?
Moral of the story?
I will never know the reality of someone's life until I have tried walking in their shoes.
(dan jangan pernah beli sepatu di malam hari)
Cheers,
Si Mbak.
0 comments:
Post a Comment