Ketika sedang menempuh persiapan untuk sekolah ke Australia setahun
yang lalu, salah seorang tutor saya memperkenalkan saya dengan sebuah istilah
baru yang belum pernah saya dengar sebelumnya: “Going Dutch”. Tutor saya pun kemudian menjelaskan dengan panjang
lebar bahwa istilan ini biasanya digunakan ketika kita sedang keluar makan
bersama-sama dengan teman (atau pasangan kencan) dan ingin membayar pengeluaran
yang sudah kita habiskan secara terpisah. Saya ingat saya tertawa geli sendiri:
“Oh maksudnya going dutch itu yarwe-yarwe tho? (bayar sendiri-sendiri
atau bayar dhewe-dhewe dalam bahasa
Jawa)”
Apakah ini berarti orang Belanda pelit-pelit?
Jawabannya tidak. Tutor saya melanjutkan penjelasannya dengan gamblang
dan bercerita bahwa kebiasaan membayar sendiri pengeluaran yang sudah
dikeluarkan setelah makan bersama atau melakukan aktivitas sosial lainnya
secara bersama-sama berasal dari tingginya tingkat emansipasi wanita di negeri
kincir angin ini. Di Belanda, wanita sudah mendapatkan kebebasan untuk berpikir, memilih
dan mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup termasuk di antaranya
keputusan untuk bekerja (atau tidak), keputusan untuk memilih pasangan hidup
sampai keputusan soal orientasi seksual. Kebebasan ini benar-benar menempatkan
kaum wanita di Belanda di posisi yang sama dengan para prianya (bukan lagi
sekedar jargon), termasuk dalam hal kemampuan dan keberanian untuk mengambil
tanggung jawab dalam kehidupan. Inilah sebabnya mengapa, menurut Ellen de
Bruin, seorang psikolog dan jurnalis terkenal dari Belanda, kebanyakan wanita
Belanda memiliki kepribadian yang tegas [1].
Lebih lanjut, De Bruin juga menggambarkan betapa perempuan Belanda adalah tipe
perempuan mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari, sehingga ketika berpakaian pun perempuan Belanda lebih
memilih pakaian yang memudahkan mereka untuk bergerak ketimbang pakaian cantik
untuk menarik perhatian lawan jenis. Masih menurut De Bruin, keberadaan
jaringan sosial yang memadai oleh Pemerintah Belanda turut mendukung perempuan
untuk memiliki kebebasan dalam berpikir dan pada gilirannya, mendorong tingginya
tingkat emansipasi wanita dalam masyarakat Belanda.
Kalau hendak dirunut, tradisi kebebasan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat Belanda bukanlah hal yang baru. Bahkan, perempuan Belanda lah yang
memperkenalkan ide emansipasi wanita kepada Raden Ajeng Kartini dan melalui
korespondesinya dengan seorang Estella Zeehandeelar, pemikiran-pemikiran kritis
RA Kartini untuk kemajuan kaum perempuan mulai bermunculan, khususnya tentang
pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan Indonesia [2]. Sayangnya, meski posisi perempuan Indonesia saat ini sudah jauh lebih
baik dibandingkan posisi perempuan Indonesia di zaman RA Kartini, emansipasi dan
kebebasan bukanlah sesuatu yang benar-benar dirasakan perempuan di sini. Karena
toh, berpakaian pun kita masih diatur-atur.
Yang menarik, sejajarnya posisi
wanita dan pria dalam pola kehidupan bermasyarakat di Belanda ini kemudian
membuat perempuan-perempuan Belanda menjadi salah satu perempuan paling bahagia
di dunia. Mengutip pernyataan de Bruin [3], kalau perempuan di Perancis tidak mudah
gendut, perempuan di Belanda tidak mudah depresi (“French women don’t get fat, Dutch women don’t get depressed”). Dan
rasanya tidak berlebihan untuk kemudian mengambil asumsi bahwa ketika perempuan
berbahagia, maka seluruh bangsa pun ikut berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari
hasil World Happines Report pertama yang dikeluarkan oleh Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB), dimana Belanda menempati peringkat keempat negara paling
bahagia di dunia [4]. Sounds great, doesn’t
it?
Jadi perempuan Indonesia, sudah siap untuk going dutch?
Sumber
0 comments:
Post a Comment