Pernah melihat seseorang mengerjakan pekerjaan kantor di tengah-tengah keasyikannya menonton festival musik?
Salah seorang teman
dekat saya pernah melakukan ini. Berbekal laptop yang sengaja ia bawa dari
rumah sejak atasannya tiba-tiba menelepon di hari Sabtu sore, teman ini saya
pun sibuk berkutat di bagian belakang venue
untuk menyelesaikan laporan yang katanya harus dikirimkan kepada sang atasan
via email, paling lambat besok atau minggu pagi. Tentu saja teman saya ini
tidak bisa berhenti menggerutu karena waktu liburnya – yang memang sudah
sengaja disisihkan untuk menonton festival musik dari jauh-jauh hari – menjadi
terganggu karena pekerjaan yang datang tiba-tiba. Saya pun ikut merasa kesal
karena, mana enak menyanyi sendiri sementara teman malah asyik menghadap laptop
di sebelah?
Cerita teman saya di
atas merupakan gambaran sederhana betapa pegawai di Indonesia rata-rata
memiliki pola pekerjaan yang tidak mengenal waktu, sehingga mereka kesulitan
untuk mencari keseimbangan antara pekerjaan kantor dengan kehidupan pribadi (Work-Life Balance). Tidak heran kalau
kemudian salah sebuah studi menyebut bahwa pegawai di Indonesia adalah pekerja pekerja
dengan tingkat kepuasan kerja terendah di dunia [1]. Hanya 18 persen responden
Indonesia yang mengaku puas dengan kondisi pekerjaan mereka sekarang. Lebih lanjut,
hampir setengah dari responden mengaku bahwa pekerjaan mereka telah menyita
waktu berharga yang seharusnya mereka habiskan bersama-sama dengan keluarga.
Selain hilangnya waktu
pribadi dan keluarga, pola pekerjaan yang tidak mengenal waktu seperti ini bisa
berakibat buruk pada kesehatan fisik dan mental para pegawai dan berpengaruh
negatif pada tingkat kreativitas dan inovasi pegawai di kantor. Sebaliknya,
menurut sebuah studi di tahun 2010 [2], pegawai yang bekerja di perusahaan yang
memperhatikan keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi pegawainya cenderung
lebih kreatif dan inovatif dibandingkan pegawai yang bekerja di perusahaan
biasa.
Bagaimana dengan
Belanda?
Berbeda dengan
Indonesia, Belanda tergolong lebih maju dalam urusan peningkatan kualitas Work-Life Balance. Belanda adalah negara kedua terbaik dalam hal
Work-Life Balance, dengan rata-rata warga Belanda menghabiskan 70% waktu mereka
dalam sehari (atau 16.1 jam) untuk melakukan berbagai kegiatan relaksasi,
seperti menonton film atau berjalan-jalan bersama teman [3]. Salah satu program
Work-Life Balance yang sering
ditawarkan oleh perusahaan di negara kincir angin ini adalah flexible work hour atau jam kerja yang
fleksibel dan tidak mengikat [4]. Dengan kata lain, pegawai di Belanda diberi
kebebasan untuk mengatur waktu jam kerja, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
pribadi masing-masing; kebebasan yang ditetapkan secara formal legal oleh
Pemerintah Belanda di tahun 2000 [4]. Hal ini berdampak besar pada budaya kerja
di negara Belanda, dimana angkatan kerja lebih memilih pergi ke perusahaan yang
bisa menawarkan jam kerja pendek (sekitar empat hari kerja dalam seminggu).
Pekerjaan paruh waktu pun menjadi pilihan utama baik untuk wanita dan pria
Belanda, agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak lagi dengan keluarga. Tentu
saja fenomena jam waktu yang fleksibel ini tidak hanya memiliki dampak positif,
namun juga mulai menunjukkan sisi negatif. Isu-isu seperti kompetensi sumber
daya manusia yang menjadi lebih rendah karena pekerjaan paruh waktu [4] atau
marginalisasi peran wanita dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan [5]. Tentu saja, program flexible work hours semacam ini hanya bisa diterapkan secara
efektif apabila negara memiliki kebijakan publik yang mendukung, seperti jaminan
sosial (safety net) yang memadai
sehingga masyarakat merasa leluasa dalam menentukan jam kerja tanpa merasa
dikejar-kejar oleh kebutuhan untuk bekerja tanpa mengenal waktu untuk
mendapatkan penghasilan. Dan Belanda, sebagai sebuah negara, sudah berhasil
memenuhi hak warga negara yang satu ini. Maka tidak heran kalau kemudian
Belanda pun menjadi negara paling bahagia ke-4 di dunia [6].
Pertanyaannya kemudian
adalah: kapan Indonesia juga menjadi negara yang bahagia?